DAMPAK DRAMATIS HARGA BBM NAIK
KENAIKAN harga BBM per tanggal 1 Oktober 2005 yang sungguh signifikan, tak urung membuat perekonomian keluarga kami ikut terhuyung-huyung. Ibuku yang memiliki latar belakang pendidikan accounting jadi ikut pusing tujuh keliling menyiasati anggaran belanja. Beliau kemudian melakukan kaji ulang atas seluruh pengeluaran keluarga dan sebisa mungkin menekannya agar sesuai dengan dana belanja bulanan.
Apalagi ayahku, yang langsung ikut uring-uringan lantaran biaya transportasi dari/ke tempat kerjanya di Jakarta ke/dari rumah kami di Cikarang melonjak hingga sekitar 60%. Sempat terfikir oleh ayah untuk naik motor saja dari rumah ke kantor, tetapi dengan mempertimbangkan kumatnya kembali ambeien yang beliau derita akhirnya niat itu diurungkan.
Dampak langsung yang aku rasakan sungguh mengenaskan. Anggaran jajanku beli permen dan biskuit pun dipangkas oleh ibuku. Jika dulu anggaran tersebut tidak terbatas, dalam arti ketika aku kepingin bisa langsung dibeli, maka sekarang..boro-boro!. Ibuku dengan tegas dan tanpa kompromi menolak permintaanku, meski aku sudah pasang wajah sememelas mungkin bahkan melakukan unjuk rasa atau ngambek dibelakang pintu kamar.
Rupanya langkah penghematan anggaran itu menjalar ke seantero rumah kami. Mulai dari menu makanan sehari-hari hingga jadwal kunjungan rutinku main mobil-mobilan di Plaza JB atau Mal Lippo Cikarang setiap akhir pekan. Khusus untuk yang terakhir, ayah sengaja membelikan CD-ROM game yang persis sama dengan di Timezone untuk dapat aku mainkan di komputer kami.
"Kita semua sedang prihatin, nak," kata ayahku lirih dengan mata berkaca-kaca saat melihat tontonan berita dilayar TV yang menampilkan masyarakat penerima dana kompensasi BBM berebutan mengambil bagiannya. Ibuku yang sedang menyusui adik Alya hanya menghela nafas panjang seperti meng-amini pernyataan ayah. Aku sempat melihat kegetiran teramat dalam dimata beliau.
"Kalau kondisi seperti ini berlangsung terus dan tidak ada penyesuaian gaji dari kantor, bisa-bisa ayah nyambi jadi tukang ojek nih," sambung ayah pelan. Beliau lalu mengelus rambutku dan membawaku ke pangkuannya.
Ibu tercengang tapi tidak berkomentar apapun. Ruang keluarga kami jadi lengang sesudahnya. Terlintas dalam benakku, jika ayahku yang keren abis dan ganteng kemana-mana itu, menjelma menjadi tukang ojek : pake rompi hitam bertuliskan "Motorcycle Taxi Kota Jababeka", topi butut, rambutnya kusam, kulit hitam legam terbakar matahari, dan kumisnya melintang sangar tak teratur karena jarang dicukur. Dari sanubariku terdalam aku berdoa : "Ya Allah, berikanlah kami jalan keluar dari masalah ini dan bukakanlah pintu hati atasan ayah supaya bisa menaikkan gaji beliau sehingga ayahku yang tampan ini tidak berubah fikiran untuk mencari tambahan penghasilan sebagai tukang ojek. Amin".