SATE MARANGGI YANG MEMIKAT HATI
HARI ini, kami sekeluarga dapat undangan special makan sate Maranggi di Purwakarta dalam rangka perayaan ultah perkawinan kelima dari Tante Nancy, tetangga rumah dan kebetulan kawan sehidup-seomprengan ayahku (numpang mobil omprengan ke Jakarta setiap hari kerja). Maka demikianlah, tepat Pkl.10.30 siang, aku dan ayah (ibu tidak ikut, karena menjaga adik Alya yang baru saja diimunisasi DPT dan Polio kemarin) dijemput oleh mobil Daihatsu Espass Om Cholil sekeluarga ke Sate Maranggi-Purwakarta. Mobil Om Cholil ini setiap hari digunakan ayah bersama rekan-rekan sesama pekerja komuter di Cikarang yaitu: Tante Nancy, Om Thamrin, Tante Ambar, Om Endi, Tante Lena, Tante Nurus dan Tante Oni, setiap hari kerja sebagai kendaraan tumpangan ke dan juga dari Jakarta.
Tante Nancy dan suaminya Om Yohannes beserta dua orang anaknya naik mobil mereka sendiri. Demikian pula dengan Tante Ambar sekeluarga plus Tante Oni dan putrinya naik mobil yang dikendarai oleh suami Tante Ambar. Kami semua ber-konvoi dari Perumahan Cikarang Baru menuju ke Sate Maranggi Purwakarta yang berjarak kurang lebih 40 km.
Aku dan ayah duduk di bangku belakang mobil Espass sambil menikmati pemandangan sepanjang tol menuju ke Cikampek. Aku begitu gembira dan excited menyaksikan dari balik kaca mobil, pepohonan seperti "berlari" dan "berkejaran" dengan kendaraan yang kian ramai pasca tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) menuju Bandung dibuka.
Tepat pukul 11.15 siang, kami tiba di Sate Maranggi yang berada persis disamping jalan raya menuju ke Purwakarta kira-kira 4 km dari pintu tol Cikampek. Letaknya berada dibawah pepohonan jati yang tumbuh kokoh dan rindang. Banyak sekali mobil parkir disitu. Aroma sate kambing dibakar tercium begitu lekat. Tempat makannya sendiri berada dibawah sebuah area terbuka beratap lebar. Udara sejuk mengalir semilir ditingkah gesekan ranting dan daun jati yang berayun-ayun ditiup angin. Meja panjang (sekitar 5 meter) ditata berderet dan tempat duduknya berupa bangku pendek yang panjangnya sama dengan mejanya. Siang itu, pengunjung sate maranggi sungguh ramai. Rombongan kami mengambil tempat tersendiri.
Tak lama kemudian, hidanganpun datang. Sajiannya sangat spesial. Nasinya dibungkus dengan daun jati dan anehnya, sate yang terhidang tidak mengeluarkan aroma khas sate kambing. Bumbu satenya pun meresap dan terasa nikmat. Aku langsung ketagihan saat ayahku menyodorkan setangkai sate untuk dicoba. Sajian lain datang berupa "Bakakak Ayam" (ayam bakar) khas Sunda, Sayur Asem, Ikan Gurame Goreng dengan sambal lalapan. Ayahku pun sejenak melupakan kadar kolesterolnya. Dan dengan lahap menyantap 25 tusuk sate sekaligus. Aku sendiri habis 10 tusuk sate. Keringatkupun deras bercucuran. Menjelang pulang, ayah mengganti bajuku yang sudah basah karena peluh. Kami semua kembali ke Cikarang tepat pkl.13.00 siang.
Sesampainya dirumah kembali, badanku terasa gerah dan panas lalu meminta bajuku dibuka. Ibuku langsung melotot kepada ayahku yang juga terlihat mukanya mulai merah.
"Rizky makan sate kambing berapa ? Koq sampai kepanasan begini ?", selidik ibuku.
"Cuma sepuluh tusuk koq," sahut ayah dengan gaya innocent.
"Yaaa..ampuuun!!..anakmu yang baru mau 3 tahun ini makan sate kambing 10 tusuk ?. Kasihan banget. Pantas aja kepanasan!," kata ibuku sambil mencubit pinggang ayahku.
Ayah mesam-mesem.
Maka demikianlah, jam dua siang hari bolong, aku dan ayah mandi bareng. Kepanasan booo..!
Sate Maranggi memang memikat hati.