MENEMANI AYAH BERCUKUR
"Rizky, temani ayah cukur rambut di Pasimal ya ?," ajak ayahku di Minggu pagi yang cerah, 10 Juli 2005. Aku yang sedang bermain mobil-mobilan bersorak riang dan segera menuju lemari pakaianku untuk memilih baju yang pantas. Ibu membantu memilih serta memakaian baju yang sudah disetrika rapi oleh Mbak Ida Dora. Adik Alya sedang menikmati tidur paginya dengan pulas setelah bangun jam empat pagi tadi.
"Pokoknya, jangan sampai ngompol lho disana," kata ibu mengingatkan seraya mengusap rambutku dengan minyak rambut.
"Ngompol ?. Rizky kan' sudah pintar. Bisa pipis sendiri. Nggak perlu pake pembalut bayi lagi," sahut ayah heran.
"Bukan itu maksudnya. Juga bukan buat Rizky. Buat kamu, ayahnya."
"Lho ?, masa' udah uzur begini masih ngompol ?. Ngawur aja."
"Ngompol itu : Ngo-mong Pol-itik, gitu loooh..," ibu menjelaskan.
Ayah terkekeh geli. Bulan sebelumnya, ayah memang pernah bercerita, ia paling senang berbincang soal politik dan kondisi Indonesia bersama tukang cukur langganannya itu. Selain karena pandangan si tukang cukur tersebut begitu mengena dengan kondisi aktual sekarang, juga disampaikan dengan lucu, lugu, agak sok-tahu namun penuh semangat.
Maka demikianlah, dengan menumpang angkot K-99B yang melewati depan rumah kami, aku dan ayah menuju tempat cukur langganan disalah satu sudut Pasimal (Pasar Siang Malam) Cikarang Baru yang fenomenal.
"Eii..Boss, apa kabar nih ?," sapa seorang bapak berperawakan sedang dengan kaos oblong berlambang sebuah parpol ditengahnya (kayaknya sih kaos bekas kampanye Pemilu 2004), berkumis lebat dan berkepala agak botak menyambut kami dengan ramah sambil mengulurkan tangan ke ayahku. Wajahnya sekilas mirip pemeran utama game Mario-Bross. Ini dia nih pakar ngompol, aku membatin.
Ayah menyambut jabatan tangan Bapak tadi dengan hangat sambil mengulas senyum manis yang dulu sempat mampu membuat ibuku menggelepar-gelepar kangen. Tampaknya salah satu alasan ayah jadi sering cukur disini karena sapaan "Boss" itu. Seperti prinsipnya : Biar kerjaan kuli, tapi panggilannya Boss!. Ada-ada saja.
"Wah..bawa si Jagoan kecil nih Boss ?," kata si Tukang Cukur itu sambil melirik kepadaku sambil mencoba mengelus rambutku. Aku ketakutan dan bersembunyi dibalik kaki ayah. Bapak itu tertawa renyah lalu mempersilahkan ayah duduk di "singgasana" cukur. Aku duduk di bangku pada sudut ruangan yang berukuran kurang lebih 4 x 5 meter itu. Menjauh dari si Mario Bross. Terdapat 3 buah "singgasana" cukur ditempat tersebut dengan masing-masing sepasang cermin besar didepan dan juga dibelakang.
"Sendirian aja nih, Pak ?. Mana staff yang lain ?", tanya ayahku mencoba ber-akrab ria.
"Belum pada datang, Boss. Mestinya jam 10.00 pagi keponakan saya itu sudah datang kesini. Eh, malah saya yang duluan. Barangkali dia pikir, jam segini pasti belum ada pelanggan. Jadi datang telat. Ngomong-ngomong, mau dipotong kayak gimana nih, Boss ?".
"Biasalah. Kayak bulan lalu aja modelnya".
"ABCD ?," tanya si Tukang Cukur dengan singkatan paling terkenal "ABRI Bukan, Cepak Doang".
"Yaa..begitulah..bikin kayak cukurnya Agus Harimurti itu lho..anaknya Pak SBY yang baru nikah sama artis Annisa Pohan kemarin".
Mulai deh nih ayahku mancing-mancing ngompol..!
"Woaa..Boss ini bisa aja. Beres deh!. Dijamin mirip. Apalagi kayaknya Boss waktu muda mirip-mirip dikit sama anaknya Pak Presiden SBY itu. Bener koq," goda si tukang cukur itu sambil tersenyum jenaka. Ayah lalu tertawa berderai.
"Walaupun beda umur sama Agus Harimurti, tapi saya juga kawin sama artis lho," ayah balas menggoda.
"O,ya ?. Yang bener nih Boss. Artis apaan ?", tanya si tukang cukur antusias sambil memasangkan jubah cukur berwarna putih di sekeliling bahu dan dada ayah.
Penyakit iseng ayahku kumat lagi nih..
"Artis Karaoke Campur Sari kelas kamar mandi dan sekitarnya sekaligus juga artis Telenovela asal Yogya," kata ayah kalem yang kemudian disertai ledakan tawanya yang khas. Si tukang cukur mesam-mesem dikerjai ayah.
Suara alat pencukur mulai terdengar. Satu demi satu, helai demi helai, rambut ayah berjatuhan ke lantai.
"Boss, banyak banget ya masalah di negeri kita sekarang. Mulai dari anak-anak menderita busung lapar, stock BBM habis, ongkos pendidikan makin mahal-sampai ada anak yang bunuh diri karena nggak sanggup bayar biaya sekolah, juga harga-harga bahan pokok makin naik. Kasihan banget ya rakyat kecil kayak kita-kita ini. Makin kejepit," kata si tukang cukur mengajukan opini.
Ayah manggut-manggut.
"Yang bikin mangkel itu koq anggota DPR pada minta naik gaji ya, Boss. Saya baca di koran malah gaji
anggota DPR bisa sampai Rp 38 juta per bulan !. Gede banget ya. Saya mesti nyukur berapa ribu kepala baru sama dengan gaji mereka," lanjut si Mario Bross itu sambil geleng-geleng kepala tidak mengerti. Ia masih tetap berkonsentrasi pada pekerjaanya mencukur rambut ayah.
"Mbok ya Selotif gitu melihat penderitaan rakyat sekarang".
"Apa ? Selotif ?".
"Itu lho Boss, orang yang nggak peka sama situasi dan kondisi orang lain".
"Ooo...itu sensitif, Pak. Bukan Selotif," kata ayah mengoreksi.
"Ya, Boss. Selotif," sahut si Mario Bross berusaha memperbaiki.
"Salah. Sensitif."
"Selotif."
Ayah geleng-geleng kepala menahan geli.
"SEN..", ayah mengeja.
"Sen..", sahut si Tukang Cukur.
"SI.."
"si.."
"TIF.."
"tif.."
"SENSITIF!"
"selotif!"
Ya, ampun..emangnya lagi iklan alat deteksi kehamilan apa ?
Tawa kedua lelaki itu lantas pecah membahana. Mungkin mereka mengingat adegan konyol di Srimulat yang menampilkan kejadian yang sama.
"Tapi mesti dipahami juga, Pak. Anggota DPR itu kan' mewakili dan juga mengurusi rakyat. Secara logika, seharusnya mereka diberikan imbalan yang pantas dong. Juga supaya tidak korupsi. Kalau penghasilan memadai, mereka kan' bisa lebih konsentrasi bekerja," kata ayah setelah tawa mereka berdua reda.
"Yaaa..memang benar sih, Boss. Tapi maksud saya, mbok ya dalam situasi serba sulit sekarang, solider kek sama rakyat kecil seperti saya ini yang penghasilan per bulannya hanya cukup buat makan untuk anak isteri doang. Beli baju baru atau rekreasi, boro-boro!. Untuk nyekolahin anak aja kemarin saya masih ngutang. Dengan penghasilan anggota DPR yang sudah gede sekarang, mestinya sudah cukuplah untuk membiayai hidup. Lagipula dengan menaikkan gaji atau tunjangan tidak berarti menjamin korupsi tidak jalan terus to' ?," sahut si Tukang cukur agak senewen.
Ayah manggut-manggut mafhum.
"Coba deh Boss, apa nggak miris tuh liat anak-anak yang kena busung lapar atau anak yang mencoba bunuh diri karena nggak mampu bayar sekolah. Mbok ya peka dikit gitu looh. Mending dana untuk kenaikan gaji dan tunjangan dipakai untuk keperluan membantu anak-anak tadi. Pak SBY mantu aja pestanya nggak mewah-mewah amat koq," lanjut si Mario Bross mengungkapkan isi hatinya.
"Makanya, jangan cuma ngomel Pak. SMS aja tuh Presiden kita kalo mau curhat," kata ayah mencoba memberi solusi.
"SMS ?. Emang bisa kayak
AFI atau Indonesia Idol gitu ?," tanya si tukang cukur heran.
"Ya,
dong.
Nomornya 9949. Coba aja
deh," jawab ayah. Dengan sigap si tukang cukur mencatat nomor SMS Presiden SBY itu.
"Ya, ampun.Boss.!," kata si Mario Bross menepuk jidatnya sendiri.
"Kenapa, Pak ?"
"Lha wong saya sendiri nggak punya HP, gimana mau nge-semes Pak SBY ?", sahut si tukang cukur tertawa geli. Ayah juga ikut tertawa.
"Entar aja pinjem HP-nya si Udin, ponakan saya. Supaya Pak SBY juga tau apa yang ada difikiran saya sekarang. Nanti biar sekalian saya minta bantuan modal untuk gedein warung cukur saya ini," ujar si Mario Bross menemukan solusi.
Ayah tersenyum dan dengan sabar menunggu si tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya. 10 menit kemudian, setelah selesai cukur, ayah memberikan ongkos ke Mario Bross dari Jember itu plus tip sekedarnya.
"Terimakasih, Boss. Jangan kapok kesini lagi ya ?," ucap si Tukang Cukur dengan nada riang setelah menerima pemberian ayah.
Ayah mengangguk.
"Jangan lupa lho nge-semes Pak SBY. Sekalian minta bantuan modal tambahan beli HP, Televisi, AC dan Radio Tape supaya kalo yang cukur disini bisa lebih betah gitu looh," kata ayah dengan kerling jenaka. Lagi-lagi si tukang cukur itu tertawa terbahak-bahak, sampai perutnya berguncang-guncang. Aku geleng-geleng kepala menyaksikan aksi dua komedian dadakan itu.