TERKAPAR TAK BERDAYA KARENA DEMAM BERDARAH -- Bagian Ketiga
Jum’at, 20 Januari 2006, Pukul 10.15 pagi
Aku memandang langit-langit kamar 3202 yang bernuansa putih. Berbeda dengan kamar sebelumnya yang dihuni untuk 4 pasien, maka di ruang kamar baru ini hanya dihuni oleh dua orang pasien.
Pasien disebelahku namanya Muh.Iqbal, usianya sebaya denganku. Kebetulan, diapun mengalami gejala demam berdarah. Iqbal masuk rumah sakit sehari sebelum aku masuk.
Berdasarkan hasil test darah tadi pagi, kadar trombositku melorot hingga 120,000. Dr. Diah yang datang tadi pagi sudah menyatakan aku positif terkena demam berdarah namun masih kategori ringan. Meskipun begitu saat ini aku telah memasuki masa kritis dan perlu pemantauan yang cukup intensif.
Ayahku yang terpaksa tidak masuk kantor hari ini terlihat berbincang serius dengan ayah Iqbal tentang perkembangan anak masing-masing.
Jum’at, 20 Januari 2006 Pkl.13.55
Untuk menambah kadar trombosit darah, atas saran sejumlah rekan ayah dan juga keluarga, aku diminta untuk minum jus jambu klutuk dan minuman isotonic. Tapi aku tak suka. Jus Jambu Klutuk yang senantiasa disediakan dalam menu makananku sama sekali tak kusentuh.
Daripada mubazir, apa boleh buat, ayahku yang menghabiskan jus jambu klutuk tersebut.
“Kalo begini caranya, bisa-bisa Bapakmu yang kelebihan trombosit, Rizky,” gerutu ayah sambil mencubit pipiku gemas.
Ayah berusaha menyiasati agar tubuhku selalu diisi cairan dengan membeli Minuman kotak rasa jambu, dan, susu strawberry kesayanganku. Ayah membelinya di Suparmarket Hero Mall Lippo Cikarang yang berjarak hanya 150 meter dari Rumah Sakit.
Aku dengan lahap melibas hidangan special dari ayahku itu.
Sabtu, 21 Januari 2006 Pkl.17.55
Kadar trombosit darahku naik cukup signifikan. Kabar itu disampaikan oleh Dr.Diah saat datang mengunjungiku sore itu seusai beliau praktek.
“Kami masih harus memantau terus kondisi Rizky, pak, karena panasnya belum turun secara drastis. Perkembangannya sih sudah cukup bagus, Kalau tidak ada masalah berarti, mungkin Hari Senin depan sudah bisa pulang koq. Yang penting Rizky mesti banyak minum ya ?,” kata bu Dokter seraya mengelus rambutku.
Aku mengangguk pelan. Dokter lalu pamit dan menghilang dibalik pintu.
Minggu, 22 Januari 2006 Pkl.09.55
Masa kritisku sudah lewat, kadar trombosit darahku naik secara drastis. Badanku sudah tidak panas lagi. Ini merupakan saat paling merepotkan bagi ayahku. Aku memberontak ingin jalan-jalan di koridor rumah sakit karena sudah “be-te abis” tiduran ditempat tidur melulu.
Ayah akhirnya mengalah, tapi tidak sampai keluar kamar. Aku diajak ayah duduk didepan jendela kamarku yang berada dilantai tiga, menatap lalu-lalang mobil yang berseliweran dibawah. Botol infusku dipasang diatas gantungan khusus.
Minggu, 22 Januari 2006 Pkl.16.45
Ayah Iqbal menghampiri ayahku yang sedang menyuapiku dengan Bakso Erik langganan kami yang dibeli oleh Om Adi.
“Wah, kadar trombosit Iqbal terus turun nih pak. Dia susah makan dan minum sih tidak seperti Rizky yang banyak minum,” keluh Ayah Iqbal pada ayahku.
“Sabar aja, pak. Pelan-pelan. Coba aja dikasih minum jus jambu kotak seperti diminum Rizky atau dibelikan makanan kegemarannya. Yang penting nafsu makan dan minumnya bisa dipancing,” jawab ayahku.
Percakapan mereka terputus saat rombongan tetangga rumah kami berdatangan membesukku antara lain Om Andry, Pak/Ibu Ahmad, Pak/Ibu Haji Harto, Pak/Ibu Haji Mitra, Om Yusnawir, Om Erfan dan Om Ari.
Senin, 23 Januari 2006 Pkl.10.05
Alhamdulillah, hari ini aku keluar dari Rumah Sakit Siloam Gleaneagles Lippo Cikarang. Pulang kembali kerumahku di Kota Jababeka, menemui ibu dan adikku Alya yang sudah merindukan tawa candaku yang lenyap selama tiga hari.