TERKAPAR TAK BERDAYA KARENA DEMAM BERDARAH -- Bagian Kedua
Kamis, 19 Januari 2006, Jam 21.15 malam
Ibu mengelus lembut rambutku. Matanya terlihat sembab dan merah. Aku terbaring tak berdaya diatas ranjang rumah sakit Kelas II Kamar 3201 Rumah Sakit Siloam Gleneagles-Lippo Cikarang. Jarum infus itu—akhirnya—berhasil menembus lenganku setelah usaha tak kenal lelah dari suster-suster ruang perawatan anak “mengeroyokku” setengah jam yang lalu.
‘Besok pagi, Rizky mesti pindah ke kamar kelas satu aja,” saran ibuku pada ayah yang terduduk letih disamping pembaringanku.
Ayah mengangguk. “Iya, rencananya memang begitu. Masih dalam proses administrasi dan kebetulan masih ada pasien disana yang akan pulang besok pagi. Mama kembali saja sekarang, kasihan Alya dirumah”.
Ibuku menghela nafas panjang lalu bangkit sambil mencium keningku. Memang, malam itu adikku Alya yang sedang tidur, ditinggal dirumah bersama Kakekku dari Yogya yang datang kemarin sore.
Ayah mengantar ibuku hingga pintu depan kamar. Aku mengantuk dan jatuh tertidur.
Kamis, 19 Januari 2006, Jam 22.35 malam
Aku tersentak kaget. Keningku terasa basah oleh air hangat. Aku membuka mata, dan melihat ayahku sedang mengompres badanku dengan kain khusus.
Beliau nampak berusaha menahan kantuk yang menderanya. Dengan lembut, beliau menyuruhku untuk tidur lagi.
Jum’at, 20 Januari 2006, Pukul 03.35 dinihari
Aku bermimpi terbang ke awan. Berenang dilautan laksana kapas yang mengapung tak bertepi. Aku berharap bertemu bidadari bergaun dan bersayap putih. Namun…
BRUKK!!
Aku lagi-lagi tersentak kaget dan melihat ayahku meringis sambil mengelus-ngelus pantatnya. Rupanya beliau tertidur di kursi dan terjatuh ke lantai.
Aku tersenyum dan ayahku langsung mencubit pipiku gemas.
Jum’at, 20 Januari 2006, Pukul 05.30 pagi
“Bangun ya Rizky, mau diambil darahnya dulu,” kata seorang suster membangunkanku.
“TIDAK MAU!!”, balasku sengit.
“Nggak apa-apa, nggak sakit koq,” kata ayah membujukku sambil membantu memegangi lenganku.
Aku mengamuk luar biasa, kedua suster yang mengambil darahku kewalahan.
Teriakan histerisku kembali membahana. Dua pasien anak lain (penderita Muntaber) yang berada diruang yang sama denganku juga terkaget-kaget dan juga ikut-ikutan menangis.
Kedua suster tadi geleng-geleng kepala (entah takjub atau gemas) menyaksikan aksi teatrikalku yang heboh tersebut.
Jum’at, 20 Januari 2006, Pukul 06.30 pagi
“Kok, cairan infusnya nggak jalan sih ?”, tanya ayahku pada dirinya sendiri sambil memandang botol infus yang isinya tinggal setengah diatas kepalaku. Beliau lalu memanggil suster untuk memeriksanya.
Tak lama kemudian, seorang suster datang dan memeriksa masalah cairan infus yang tidak mengalir tersebut. Ia lalu mengutak-ngatik suntikan infuse ditanganku.
“Yaa..amppunn!,” seru suster itu sambil menutup mulutnya.
“Kenapa, Mbak ?”, tanya ayahku penasaran
“Ini, jarum infus ditangan Rizky bengkok, pak. Jadi cairan infusnya tidak mengalir. Kemungkinan karena si Rizky terlalu banyak bergerak waktu diambil darahnya tadi”, jawab sang suster sambil memperlihatkan tanganku yang “ditusuk” jarum infuse pada ayahku.
“Terus bagaimana dong, Mbak ?. Apa ini berarti jarum infus si Rizky sekarang mesti dibuka dan diganti dengan yang baru ?,” ujar Ayahku cemas.
“Iya, Pak. Mesti diganti sesegera mungkin, tapi di tangan yang satunya lagi,” sahut sang Suster.
Seketika sekujur tubuhku lemas lunglai. Ini berarti akan ada “eksekusi” lagi dan ini berarti pula….aku harus menjerit ala rocker lagi…Oh, No..!!
Jum’at, 20 Januari 2006, Pukul 07.10 pagi
The future rocker is back again!!!
Dari “ruang eksekusi” teriakanku pecah dan menggema kencang dengan getaran decibel paling maksimal ke seantero lorong-lorong rumah sakit di lantai tiga.
Ayah menyeka peluh yang mengalir dikeningnya dan memandangku iba seakan-akan berucap : malang nian nasibmu anakku sayang..