Dua orang perawat memegang tangan dan kakiku. Ayah mengelus kepalaku dengan lembut. Tatapan iba terpancar dari matanya. Aku meronta-ronta, tapi sia-sia. Pegangan kedua suster tersebut sangat kuat.
"Nggak sakit koq, dik. Seperti digigit semut. Rizky pintar ya, kalo gede mau jadi apa nanti ?," bujuk seorang perawat seraya "menghunus" suntik untuk mengambil darahku.
Aku menjerit kencang saat jarum suntik itu menghunjam lengan kananku.
"Wah, anak bapak ada bakat jadi rocker ya ?," goda perawat itu pada ayahku yang menyambutnya dengan senyum masam.
"Hasilnya diambil satu jam lagi ya pak ?", kata perawat itu lagi.
Ayah menggendongku yang masih menangis terisak keluar dari ruang laboratorium.
Kamis, 19 Januari 2006, Jam 20.15 malam
Dr.Diah Pramita,SpA memandang lembaran Hasil Test Laboratorium dengan serius.
"Rizky mesti dirawat inap malam ini juga, pak. Kadar trombosit darahnya hanya 150,000 dan ini masuk kategori minimal. Kami akan terus memantau dan melakukan observasi perkembangannya. Bagaimana, pak ?", tanya Dr.Diah pada ayahku yang terlihat tegang mendengarkan "vonis" dokter.
"Baiklah, jika ini memang jalan terbaik, dok. Tapi apakah ini berarti Rizky terjangkit demam berdarah ?", ayahku balik bertanya.
"Belum bisa dipastikan, pak. Mesti dilakukan observasi dari hari ke hari selama Rizky dirawat disini. Saya akan jelaskan nanti progressnya. Sekarang saya mesti menyiapkan surat pengantar untuk rawat inap Rizky," sahut Ibu Dokter seraya meraih lembar surat pengantar didepan meja kerjanya.
Ayah menghela nafas panjang dan mengelus lembut kepalaku. Jemari beliau terasa gemetar saat menyentuh helai-helai rambutku.
Kamis, 19 Januari 2006, Jam 20.45 malam
Waktu "eksekusi" itu tiba. Tangan kiriku akan dipasangi selang infus. Empat orang suster plus ayahku memegangi sekujur tubuhku agar tak bergerak mengamuk.
Aku kembali berteriak sekencang-kencangnya, mengeluarkan segenap talenta tersembunyiku sebagai calon rocker Indonesia masa depan. Ini adalah usaha ketiga kalinya bagi suster-suster itu menyuntik tanganku untuk selang infus. Pada dua usaha sebelumnya, jarum infusnya melejit keluar karena gerakanku yang meronta hebat.
Ibuku tiba-tiba datang dan berdiri tegak didepan pintu "treatment room" di Lantai 3 RS. Siloam Gleneagles.
"Masya Allah, anakku diapain ?," jerit beliau dengan cemas. Semua suster yang memegangiku spontan menoleh kearah ibuku yang terlihat panik. Beliau segera mendekati tempatku terbaring.
"Tenang aja, cuma dipasangi infus, koq," sahut ayahku seraya menenangkan ibuku yang menangis tersedu-sedu menyaksikan penderitaan anaknya.
"Cuma dipasangi infus koq sampai berdarah-darah gitu tangannya ?," sergah ibuku sambil menunjuk bekas darah ditanganku yang akan dipasangi infus.
"Tidak apa-apa koq, bu. Itu hanya bekas tusukan jarum yang tiba-tiba terlepas gara-gara gerakan Rizky yang mengamuk. Begini saja, ibu lebih baik tunggu diluar aja dulu nanti si Rizky malah lebih panik," ujar seorang suster senior yang segera mengajak ibuku keluar ruangan. Aku memandang sorot mata cemas ibuku yang terus melihatku hingga menghilang dibalik pintu.
Dan "eksekusi" pun dilanjutkan kembali.
Dan jeritan histerisku pun terulang kembali. Lebih keras.
The future Rocker is back!!.
Catatan :