ADA BONUS SAHAM, EE..ADA (RAK) TV BARU!
HARI ini (29/07) ayah pulang dari kantor dengan wajah berbinar ceria. Dengan bersemangat beliau langsung menggendongku yang biasa menyambut di depan pintu gerbang rumah. Sambil berjoget riang dan bergoyang pantat, bergeal-geol seperti anjing laut gelanggang samudera Ancol, ayah bersenandung lagu dangdut favoritnya : Cucok Rowo.
"Manu'E..manu'E..Cucok Rowo..Cucok Rowo..Dhowo Buntut'E..," demikian ayahku bernyanyi dan membuat kaget ibuku yang sedang menggendong Alya. Mbak Ida Dora yang sedang mencuci piring didapur juga terkejut melihat gaya majikannya yang aneh bin ajaib itu.
"Kenapa sih ? Norak banget!," protes ibuku senewen.
"Ayah baru dapat bonus deviden saham perusahaan. Lumayan lho," kata ayah antusias.
"Bonus saham ?," tanya ibu heran sambil meletakkan Alya di Baby Walkernya.
"Iya, ayah kan' sebagai karyawan di Andergauge Drilling System dapat jatah saham gratis dari perusahaan. Nah, hari ini, ayah dapat transfer dana pembagian deviden saham, langsung dari kantor pusatnya di Houston," kata ayah menjelaskan.
"Aaah..yang bennneer," sahut ibu tak percaya.
"Ya, udah..kalo nggak percaya. Lihat saja entar".
"Maksudnya ?".
"Ayah baru beli lemari buku untuk diruang tamu. Buku-buku ayah kan' berantakan dimana-mana, jadi supaya teratur dan rapi, nanti ditaruh dilemari buku itu. Ayah juga beli rak TV baru untuk ukuran 29 inchi. Tadi ayah singgah di toko furniture di Pasimal. Sebentar lagi diantar koq," ujar ayah sambil membuka kaos kakinya.
"Hah ??. Rak TV 29 inchi ?. Lantas TV yang lama mau dikemanain ? Terus mana TV 29 inchi itu ?," seru ibuku penasaran.
Ayah tidak langsung menjawab. Dengan ketenangan yang sangat memukau, beliau menghirup kopi cappuccino kegemarannya lalu menikmatinya setetes demi setetes. Beliau lalu melirik ibuku dengan tatapan menggoda.
"TV 29 inchi itu nanti dibeli di
Electronic City-SCBD setelah kita pulang dari Seaworld besok," jawab ayah kalem.
Ibu geleng-geleng kepala. Kami sekeluarga memang ada niat untuk jalan-jalan ke Seaworld-Ancol hari Sabtu, 30 Juli 2005 besok, namun rencana pembelian TV itu menjadi rencana "dadakan".
"TV kita yang lama aku beli tahun 1997. 2 tahun sebelum kita nikah. Itu berarti umurnya sudah 8 tahun. Kualitas gambarnya pun sudah semakin menurun. Malah sudah 3 kali masuk "bengkel"reparasi TV. Sudah saatnya diganti yang baru. TV yang lama nanti buat si Rizky main game atau nonton lagu anak-anak dari VCD dikamar depan. Lagipula bonus saham pertama ini kan' mesti ada "monumen"nya supaya bisa gampang dikenang. Iya nggak ?," ayah melanjutkan penjelasannya seraya mengelus rambutku.
Ibu menghela nafas panjang lalu manggut-manggut. Namun tiba-tiba mata ibu tertumbuk pada sepeda dinas birunya. Ayah seperti menangkap isyarat itu.
"Apaan ? Mau beli motor juga ?. Gampaaaaangg..," ujar ayahku sambil mencubit dagu ibuku.
"Emangnya bisa..?," tanya ibu ragu-ragu.
Ayah tersenyum penuh arti.
"Yang penting TV aja dulu deh. Supaya acara nonton berita tidak dikudeta sama Rizky yang mau nonton Teletubbies," sahut ayahku sembari ngeloyor pergi ke kamar mandi.
SATE MARANGGI YANG MEMIKAT HATI
HARI ini, kami sekeluarga dapat undangan special makan sate Maranggi di Purwakarta dalam rangka perayaan ultah perkawinan kelima dari Tante Nancy, tetangga rumah dan kebetulan kawan sehidup-seomprengan ayahku (numpang mobil omprengan ke Jakarta setiap hari kerja). Maka demikianlah, tepat Pkl.10.30 siang, aku dan ayah (ibu tidak ikut, karena menjaga adik Alya yang baru saja diimunisasi DPT dan Polio kemarin) dijemput oleh mobil Daihatsu Espass Om Cholil sekeluarga ke Sate Maranggi-Purwakarta. Mobil Om Cholil ini setiap hari digunakan ayah bersama rekan-rekan sesama pekerja komuter di Cikarang yaitu: Tante Nancy, Om Thamrin, Tante Ambar, Om Endi, Tante Lena, Tante Nurus dan Tante Oni, setiap hari kerja sebagai kendaraan tumpangan ke dan juga dari Jakarta.
Tante Nancy dan suaminya Om Yohannes beserta dua orang anaknya naik mobil mereka sendiri. Demikian pula dengan Tante Ambar sekeluarga plus Tante Oni dan putrinya naik mobil yang dikendarai oleh suami Tante Ambar. Kami semua ber-konvoi dari Perumahan Cikarang Baru menuju ke Sate Maranggi Purwakarta yang berjarak kurang lebih 40 km.
Aku dan ayah duduk di bangku belakang mobil Espass sambil menikmati pemandangan sepanjang tol menuju ke Cikampek. Aku begitu gembira dan excited menyaksikan dari balik kaca mobil, pepohonan seperti "berlari" dan "berkejaran" dengan kendaraan yang kian ramai pasca tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) menuju Bandung dibuka.
Tepat pukul 11.15 siang, kami tiba di Sate Maranggi yang berada persis disamping jalan raya menuju ke Purwakarta kira-kira 4 km dari pintu tol Cikampek. Letaknya berada dibawah pepohonan jati yang tumbuh kokoh dan rindang. Banyak sekali mobil parkir disitu. Aroma sate kambing dibakar tercium begitu lekat. Tempat makannya sendiri berada dibawah sebuah area terbuka beratap lebar. Udara sejuk mengalir semilir ditingkah gesekan ranting dan daun jati yang berayun-ayun ditiup angin. Meja panjang (sekitar 5 meter) ditata berderet dan tempat duduknya berupa bangku pendek yang panjangnya sama dengan mejanya. Siang itu, pengunjung sate maranggi sungguh ramai. Rombongan kami mengambil tempat tersendiri.
Tak lama kemudian, hidanganpun datang. Sajiannya sangat spesial. Nasinya dibungkus dengan daun jati dan anehnya, sate yang terhidang tidak mengeluarkan aroma khas sate kambing. Bumbu satenya pun meresap dan terasa nikmat. Aku langsung ketagihan saat ayahku menyodorkan setangkai sate untuk dicoba. Sajian lain datang berupa "Bakakak Ayam" (ayam bakar) khas Sunda, Sayur Asem, Ikan Gurame Goreng dengan sambal lalapan. Ayahku pun sejenak melupakan kadar kolesterolnya. Dan dengan lahap menyantap 25 tusuk sate sekaligus. Aku sendiri habis 10 tusuk sate. Keringatkupun deras bercucuran. Menjelang pulang, ayah mengganti bajuku yang sudah basah karena peluh. Kami semua kembali ke Cikarang tepat pkl.13.00 siang.
Sesampainya dirumah kembali, badanku terasa gerah dan panas lalu meminta bajuku dibuka. Ibuku langsung melotot kepada ayahku yang juga terlihat mukanya mulai merah.
"Rizky makan sate kambing berapa ? Koq sampai kepanasan begini ?", selidik ibuku.
"Cuma sepuluh tusuk koq," sahut ayah dengan gaya innocent.
"Yaaa..ampuuun!!..anakmu yang baru mau 3 tahun ini makan sate kambing 10 tusuk ?. Kasihan banget. Pantas aja kepanasan!," kata ibuku sambil mencubit pinggang ayahku.
Ayah mesam-mesem.
Maka demikianlah, jam dua siang hari bolong, aku dan ayah mandi bareng. Kepanasan booo..!
Sate Maranggi memang memikat hati.
MENEMANI AYAH BERCUKUR
"Rizky, temani ayah cukur rambut di Pasimal ya ?," ajak ayahku di Minggu pagi yang cerah, 10 Juli 2005. Aku yang sedang bermain mobil-mobilan bersorak riang dan segera menuju lemari pakaianku untuk memilih baju yang pantas. Ibu membantu memilih serta memakaian baju yang sudah disetrika rapi oleh Mbak Ida Dora. Adik Alya sedang menikmati tidur paginya dengan pulas setelah bangun jam empat pagi tadi.
"Pokoknya, jangan sampai ngompol lho disana," kata ibu mengingatkan seraya mengusap rambutku dengan minyak rambut.
"Ngompol ?. Rizky kan' sudah pintar. Bisa pipis sendiri. Nggak perlu pake pembalut bayi lagi," sahut ayah heran.
"Bukan itu maksudnya. Juga bukan buat Rizky. Buat kamu, ayahnya."
"Lho ?, masa' udah uzur begini masih ngompol ?. Ngawur aja."
"Ngompol itu : Ngo-mong Pol-itik, gitu loooh..," ibu menjelaskan.
Ayah terkekeh geli. Bulan sebelumnya, ayah memang pernah bercerita, ia paling senang berbincang soal politik dan kondisi Indonesia bersama tukang cukur langganannya itu. Selain karena pandangan si tukang cukur tersebut begitu mengena dengan kondisi aktual sekarang, juga disampaikan dengan lucu, lugu, agak sok-tahu namun penuh semangat.
Maka demikianlah, dengan menumpang angkot K-99B yang melewati depan rumah kami, aku dan ayah menuju tempat cukur langganan disalah satu sudut Pasimal (Pasar Siang Malam) Cikarang Baru yang fenomenal.
"Eii..Boss, apa kabar nih ?," sapa seorang bapak berperawakan sedang dengan kaos oblong berlambang sebuah parpol ditengahnya (kayaknya sih kaos bekas kampanye Pemilu 2004), berkumis lebat dan berkepala agak botak menyambut kami dengan ramah sambil mengulurkan tangan ke ayahku. Wajahnya sekilas mirip pemeran utama game Mario-Bross. Ini dia nih pakar ngompol, aku membatin.
Ayah menyambut jabatan tangan Bapak tadi dengan hangat sambil mengulas senyum manis yang dulu sempat mampu membuat ibuku menggelepar-gelepar kangen. Tampaknya salah satu alasan ayah jadi sering cukur disini karena sapaan "Boss" itu. Seperti prinsipnya : Biar kerjaan kuli, tapi panggilannya Boss!. Ada-ada saja.
"Wah..bawa si Jagoan kecil nih Boss ?," kata si Tukang Cukur itu sambil melirik kepadaku sambil mencoba mengelus rambutku. Aku ketakutan dan bersembunyi dibalik kaki ayah. Bapak itu tertawa renyah lalu mempersilahkan ayah duduk di "singgasana" cukur. Aku duduk di bangku pada sudut ruangan yang berukuran kurang lebih 4 x 5 meter itu. Menjauh dari si Mario Bross. Terdapat 3 buah "singgasana" cukur ditempat tersebut dengan masing-masing sepasang cermin besar didepan dan juga dibelakang.
"Sendirian aja nih, Pak ?. Mana staff yang lain ?", tanya ayahku mencoba ber-akrab ria.
"Belum pada datang, Boss. Mestinya jam 10.00 pagi keponakan saya itu sudah datang kesini. Eh, malah saya yang duluan. Barangkali dia pikir, jam segini pasti belum ada pelanggan. Jadi datang telat. Ngomong-ngomong, mau dipotong kayak gimana nih, Boss ?".
"Biasalah. Kayak bulan lalu aja modelnya".
"ABCD ?," tanya si Tukang Cukur dengan singkatan paling terkenal "ABRI Bukan, Cepak Doang".
"Yaa..begitulah..bikin kayak cukurnya Agus Harimurti itu lho..anaknya Pak SBY yang baru nikah sama artis Annisa Pohan kemarin".
Mulai deh nih ayahku mancing-mancing ngompol..!
"Woaa..Boss ini bisa aja. Beres deh!. Dijamin mirip. Apalagi kayaknya Boss waktu muda mirip-mirip dikit sama anaknya Pak Presiden SBY itu. Bener koq," goda si tukang cukur itu sambil tersenyum jenaka. Ayah lalu tertawa berderai.
"Walaupun beda umur sama Agus Harimurti, tapi saya juga kawin sama artis lho," ayah balas menggoda.
"O,ya ?. Yang bener nih Boss. Artis apaan ?", tanya si tukang cukur antusias sambil memasangkan jubah cukur berwarna putih di sekeliling bahu dan dada ayah.
Penyakit iseng ayahku kumat lagi nih..
"Artis Karaoke Campur Sari kelas kamar mandi dan sekitarnya sekaligus juga artis Telenovela asal Yogya," kata ayah kalem yang kemudian disertai ledakan tawanya yang khas. Si tukang cukur mesam-mesem dikerjai ayah.
Suara alat pencukur mulai terdengar. Satu demi satu, helai demi helai, rambut ayah berjatuhan ke lantai.
"Boss, banyak banget ya masalah di negeri kita sekarang. Mulai dari anak-anak menderita busung lapar, stock BBM habis, ongkos pendidikan makin mahal-sampai ada anak yang bunuh diri karena nggak sanggup bayar biaya sekolah, juga harga-harga bahan pokok makin naik. Kasihan banget ya rakyat kecil kayak kita-kita ini. Makin kejepit," kata si tukang cukur mengajukan opini.
Ayah manggut-manggut.
"Yang bikin mangkel itu koq anggota DPR pada minta naik gaji ya, Boss. Saya baca di koran malah gaji
anggota DPR bisa sampai Rp 38 juta per bulan !. Gede banget ya. Saya mesti nyukur berapa ribu kepala baru sama dengan gaji mereka," lanjut si Mario Bross itu sambil geleng-geleng kepala tidak mengerti. Ia masih tetap berkonsentrasi pada pekerjaanya mencukur rambut ayah.
"Mbok ya Selotif gitu melihat penderitaan rakyat sekarang".
"Apa ? Selotif ?".
"Itu lho Boss, orang yang nggak peka sama situasi dan kondisi orang lain".
"Ooo...itu sensitif, Pak. Bukan Selotif," kata ayah mengoreksi.
"Ya, Boss. Selotif," sahut si Mario Bross berusaha memperbaiki.
"Salah. Sensitif."
"Selotif."
Ayah geleng-geleng kepala menahan geli.
"SEN..", ayah mengeja.
"Sen..", sahut si Tukang Cukur.
"SI.."
"si.."
"TIF.."
"tif.."
"SENSITIF!"
"selotif!"
Ya, ampun..emangnya lagi iklan alat deteksi kehamilan apa ?
Tawa kedua lelaki itu lantas pecah membahana. Mungkin mereka mengingat adegan konyol di Srimulat yang menampilkan kejadian yang sama.
"Tapi mesti dipahami juga, Pak. Anggota DPR itu kan' mewakili dan juga mengurusi rakyat. Secara logika, seharusnya mereka diberikan imbalan yang pantas dong. Juga supaya tidak korupsi. Kalau penghasilan memadai, mereka kan' bisa lebih konsentrasi bekerja," kata ayah setelah tawa mereka berdua reda.
"Yaaa..memang benar sih, Boss. Tapi maksud saya, mbok ya dalam situasi serba sulit sekarang, solider kek sama rakyat kecil seperti saya ini yang penghasilan per bulannya hanya cukup buat makan untuk anak isteri doang. Beli baju baru atau rekreasi, boro-boro!. Untuk nyekolahin anak aja kemarin saya masih ngutang. Dengan penghasilan anggota DPR yang sudah gede sekarang, mestinya sudah cukuplah untuk membiayai hidup. Lagipula dengan menaikkan gaji atau tunjangan tidak berarti menjamin korupsi tidak jalan terus to' ?," sahut si Tukang cukur agak senewen.
Ayah manggut-manggut mafhum.
"Coba deh Boss, apa nggak miris tuh liat anak-anak yang kena busung lapar atau anak yang mencoba bunuh diri karena nggak mampu bayar sekolah. Mbok ya peka dikit gitu looh. Mending dana untuk kenaikan gaji dan tunjangan dipakai untuk keperluan membantu anak-anak tadi. Pak SBY mantu aja pestanya nggak mewah-mewah amat koq," lanjut si Mario Bross mengungkapkan isi hatinya.
"Makanya, jangan cuma ngomel Pak. SMS aja tuh Presiden kita kalo mau curhat," kata ayah mencoba memberi solusi.
"SMS ?. Emang bisa kayak
AFI atau Indonesia Idol gitu ?," tanya si tukang cukur heran.
"Ya,
dong.
Nomornya 9949. Coba aja
deh," jawab ayah. Dengan sigap si tukang cukur mencatat nomor SMS Presiden SBY itu.
"Ya, ampun.Boss.!," kata si Mario Bross menepuk jidatnya sendiri.
"Kenapa, Pak ?"
"Lha wong saya sendiri nggak punya HP, gimana mau nge-semes Pak SBY ?", sahut si tukang cukur tertawa geli. Ayah juga ikut tertawa.
"Entar aja pinjem HP-nya si Udin, ponakan saya. Supaya Pak SBY juga tau apa yang ada difikiran saya sekarang. Nanti biar sekalian saya minta bantuan modal untuk gedein warung cukur saya ini," ujar si Mario Bross menemukan solusi.
Ayah tersenyum dan dengan sabar menunggu si tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya. 10 menit kemudian, setelah selesai cukur, ayah memberikan ongkos ke Mario Bross dari Jember itu plus tip sekedarnya.
"Terimakasih, Boss. Jangan kapok kesini lagi ya ?," ucap si Tukang Cukur dengan nada riang setelah menerima pemberian ayah.
Ayah mengangguk.
"Jangan lupa lho nge-semes Pak SBY. Sekalian minta bantuan modal tambahan beli HP, Televisi, AC dan Radio Tape supaya kalo yang cukur disini bisa lebih betah gitu looh," kata ayah dengan kerling jenaka. Lagi-lagi si tukang cukur itu tertawa terbahak-bahak, sampai perutnya berguncang-guncang. Aku geleng-geleng kepala menyaksikan aksi dua komedian dadakan itu.
MEJENG BERSAMA DALAM RANGKA HARI KELUARGA
SABTU pagi yang cerah, 2 Juli 2005, ayah mengajak kami sekeluarga jalan-jalan ke Mall Lippo Cikarang. Instruksinya sangat jelas dan lugas: "Kita foto bersama dalam rangka Hari Keluarga Indonesia, 29 Juni 2005". Aku langsung menyambut antusias ajakan ayah, apalagi ada iming-iming main mobil-mobilan di Timezone.
Maka demikianlah, setelah mandi dan berdandan rapi, ibu dan ayah sibuk mendandani aku dan Dik Alya dalam rangka mejeng keren di studio foto Mall Lippo Cikarang. Sebagai wujud nasionalisme yang kental, ibu memilih corak dan tema "merah-putih" pada penampilan kami hari ini. Aku hanya bisa diam ditaburi bedak di wajah oleh ibu untuk memanipulasi kulit hitam manisku. Ayahpun demikian. Dengan sangat demonstratif dan semangat '45, ibu mempermak ayahku yang juga pasrah (meski tak rela) didandani ibarat artis lenong mau naik pentas.
Tepat Pkl.10.00 pagi, taksi Blue-Bird yang dipesan ayah di pangkalannya dipinggir Kalimalang, datang. Kami sengaja mengambil taksi, supaya dandanan yang "keren-abis" itu tidak sia-sia luntur kena keringat lantaran naik angkot ditengah-tengah sinar mentari yang terik membakar Cikarang. Aku langsung mengambil tempat duduk paling depan disamping supir. Ayah geleng-geleng kepala melihat tingkah atraktifku itu. Beliau pun langsung mengambil tempat yang sama denganku dan ibu serta adik Alya duduk dibelakang. 20 menit kemudian, sampailah taksi kami di Mall Lippo Cikarang.
Ketika taksi dibuka, aku langsung berlari riang, menuju lantai-2. Tempat wahana Timezone berada. Dengan gesit Ayah langsung menangkap dan menggendongku.
"Kita foto dulu, Nak. Baru ke Timezone," kata ayah mengingatkan. Aku meronta-ronta dalam pelukan ayah.
Dengan susah payah kami pun sampai di studio foto di mall tersebut dekat Matahari Departement Store. Sang juru foto lalu mempersilakan kami masuk keruang foto, memperbaiki dandanan serta memilih latar belakang foto. Aku masih tetap ingin ke Timezone dan ogah berfoto. Sampai kemudian, ayah melotot marah kepadaku yang kemudian membuatku ketakutan.
Setelah semua siap, kami dipersilahkan duduk di kursi yang disediakan dengan latar belakang pilihan ibuku yang romantis : bunga mekar ditaman. Sang Juru foto mengambil foto kami dengan kamera digitalnya sebanyak 3 shoot. Hasilnya lumayan bagus, namun sayang mataku tetap mengerling ke pintu keluar karena tak sabar ingin main mobil-mobilan di Timezone.
Kami mesti menunggu kurang lebih 15 menit, karena hasil foto terbaik akan "dipermak" dulu lebih baik dengan program manipulasi komputer Adobe Photoshop. Kami melewatkan waktu bermain Timezone dulu, belanja serta makan siang lalu kembali ke studio foto tadi.
Sekitar 2 jam kemudian kami kembali dan melihat hasilnya. Ayah dan ibu tersenyum puas memandang foto bersama tersebut yang telah diberi bingkai plus CD copy 3 gambar kami.
"Coba lihat tuh Rizky wajah ayahmu, persis Pak Presiden SBY lagi mesam-mesem," gurau ayah dengan Pe-De. Sang Juru foto tertawa berderai dan ibu mencibir seraya mencubit pinggang ayah yang kumat penyakit genitnya.