MALAIKAT-MALAIKAT KECIL MELAYANG DI LANGIT ACEH
PEMANDANGAN yang terpampang di layar monitor TV kami sungguh sangat memilukan dan mengenaskan. Barisan anak-anak dan bayi yang tewas, yang dibaringkan berjejer di jalan-jalan kota Banda Aceh karena musibah gempa dan Tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004 begitu membetot perhatian dan menghentak keharuan kami sekeluarga. Sambil menggendong Adik Alya, Ibu menyeka air matanya tak kuasa menahan tangis menyaksikan kengerian yang terjadi pasca bencana itu. Ayah memelukku erat-erat seraya menciumku, seakan membayangkan jika seandainya kejadian serupa terjadi pada kami sekeluarga.
Aku merasakan duka yang amat mendalam mengalir di sekeliling relung-relung rumah kami. Saudara-saudara kami yang ada di Aceh dan Sumatera Utara, mengalami bencana yang begitu dashyat. Yang paling memilukan adalah, teman-temanku, anak-anak dan bayi-bayi yang polos tanpa dosa, tanpa ampun dihantam Tsunami hingga kehilangan nyawa mereka. Aku melihat tangis orang tua yang kehilangan permata hatinya itu, tanpa berkedip. Betapa berat kepedihan dan kesedihan yang mereka rasakan. Sesaat ruang keluarga kami begitu senyap meresapi tragedi nasional ini. "Kita mesti menyumbang sebisa mungkin. Kasihan. Betapa berat penderitaan mereka," kata ibu pelan dengan nafas tertahan memecah keheningan. Ayah mengangguk dan mencatat rekening bank tempat penyaluran sumbangan disalah satu Stasiun TV.
"Besok saya kirim sumbangan kita kesana,"ujar Ayah sambil mencium adik Alya dipangkuan ibu. Mata beliau berkaca-kaca.
"Kita juga kumpulkan baju-baju bekas layak pakai dan sumbangkan pada mereka," kata ibu lagi.
"Ya, kebetulan Mesjid didekat rumah mengumpulkan sumbangan baju bekas untuk musibah ini. Nanti kita salurkan kesana," sahut Ayah. Ibu mengangguk dan kemudian menyeka air matanya lagi.
Aku tertegun dan melamun, saudara-saudaraku, anak-anak dan bayi-bayi yang tewas dalam musibah ini, menjelma menjadi malaikat-malaikat kecil yang melayang, beterbangan diatas langit Aceh dengan aura yang berpendar-pendar. Seperti sebait sajak bagus dari penyair Subagio Sastrowardoyo:
dan kematian semakin akrab, seakan kawan berkelakar...
...lihat bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit....
CEMBURU BOLEH, TAPI.....
10 Desember 2004, ini ulang"bulan" pertama adikku Alya. Sejak Bapu dan Oma kembali ke Makassar minggu lalu, perhatian ayah dan ibu pada Alya, bagiku terasa tidak adil. Aku cemburu. Terlebih ketika ayah menggendong Alya sambil mendendangkan lagunya Trio Libels,"Gadisku", membuat aku makin cemberut karenanya. "Oooo.oo..gadisku..sayangku
selaluuuu...", senandung ayah sambil menimang-nimang Alya penuh rasa sayang. Aku hanya melotot tajam sambil melakukan aksi unjuk rasa seraya membongkar mainanku mencari perhatian. Ayah menghentikan nyanyiannya dan menatap kearahku sambil menghardik, "Rizky !. Jangan berisik ! Nanti Dik Alya bangun". Aku terdiam dan perlahan, dari pelupuk mataku mengalir air mata. Aku begitu takut jika ayahku marah apalagi jika menampilkan "muka perang"dan mata menyala yang menyiratkan bara api disana. Ibu yang baru saja keluar kamar mandi datang membujuk lalu menggendongku keluar. Aku melihat sekilas beliau sempat mencubit pelan pantat ayahku. "Awww!!", ayah terpekik kesakitan.
Sesaat kemudian ayah menghampiri aku dan ibu setelah meletakkan Alya di box bayinya.
Tak lama kemudian ayah terlibat pembicaraan serius dengan ibu. "Si Rizky itu cemburu kayaknya. Kita nggak boleh mengabaikan dia," kata ibu menegur ayah dengan suara pelan. Ayah melirik kearahku yang sedang bermain dengan sepeda roda tiga dihalaman depan rumah. "Jangan terlalu keras sama Rizky. Kita harus membagi kasih-sayang yang sama dengan dia. Coba
deh ajak jalan kemana
kek dia supaya nggak Be-Te. Lagipula
mumpung Hari Sabtu lagi libur
kan' ?," kata ibu menyarankan. Ayah mengangguk dan mendekatiku di sepeda. "Rizky, kita main mobil-mobilan
yuk di Plaza JB. Cepet
gih ganti baju sana sama ibu,"ujar ayah lembut sambil mengelus rambutku. Aku berteriak kegirangan dan berlari kearah ibu. Sejak selesai lebaran kemarin, ritual rutin main mobil-mobilan di Plasa JB atau TimeZone Lippo Cikarang sudah tidak pernah kami lakukan lagi.
Ibu kemudian mengganti baju dan celanaku dengan yang "agak" keren dikit. Ayah juga sudah berdandan rapi. "Ayoo...berangkat", titah ayah. "Brrrmm...brrrmmm...", aku menirukan suara mobil-mobilan. Ibu menciumku dikening sambil berkata,"Hati-hati ya nak..jewer telinga Bapakmu kalo
ngelirik cewek cakep disana". Ayah melengos mendengar canda ibuku.
Tak berapa lama kemudian dengan menumpang angkot K-99B, kami sudah sampai di Plaza JB Perumahan Cikarang Baru. Aku langsung berlari menghambur ke arah tempat bermain mobil-mobilan. "Eiittts.ss..jangan buru-buru jagoan, beli koinnya dulu", kata ayah sambil tertawa. Aku tidak peduli. Aku sudah duduk di kokpit mobil-mobilan sambil memegang setir. "Brrrm..brrrmmmmm"..demikian aku menirukan deru mobil balap yang segera melaju. Ayah datang, kemudian meraihku keatas pangkuannya. Koin dimasukkan, pilih mobil dan sirkuit lalu pedal gas ditekan ayah dan...mobilpun meraung kencang. Aku memegang setir mobil-mobilan kuat-kuat dengan mata menatap lekat pada display TV yang menampilkan gambar mobil yang kukendarai. Ayah membantu mengarahkan setir ke "arah" yang benar karena aku senantiasa menabrak pagar lintasan. Kurang lebih 45 menit kami bermain. Aku begitu puas. Ayah lalu mengajakku makan nasi goreng di Solaria. Sambil menyuapiku nasi goreng yang hangat nikmat itu, ayah berkata,"Rizky, kamu boleh aja cemburu sama adikmu, tapi..tidak boleh destruktif "
Aku manggut-manggut aja, tapi destruktif itu makanan apa yaa ?? Bingung saya...
TIDUR DENGAN AYAH DI KASUR "GUSURAN"
SEJAK Alya lahir, ibu dan adik Alya sudah dialokasikan tidur di tempat tidur utama yang ber-spring bed baru plus fasilitas AC. Kasur Spring Bed lama dipindahkan ke kamar yang lain, yang konon bakal menjadi kamarku kelak plus fasilitas kipas angin. Sewaktu Bapu dan Oma datang dari Makassar, merekalah yang menempati sementara kamar berkasur gusuran itu. Dan sejak mereka pulang, maka: "Mulai sekarang Rizky tidur bareng sama ayah ya disini," kata ibu. Aku mencoba protes namun ayah buru-buru mengoreksi pernyataan ibu,"Kalau siang kamu boleh tidur di kamar utama bersama ibu dan kan' adik Alya tidur di Box bayinya. Tapi kalau malam, tidur disini bareng ayah". Ibu manggut-manggut setuju sambil mengelus rambutku. Aku segera membayangkan gonjang-ganjingnya kasur "gusuran" itu jika badan ayah yang montok-bahenol itu direbahkan. Busyeet..kayak gempa bumi lokal deh !. Ibu tampak tersenyum, tampaknya beliau bisa membaca apa yang terlintas difikiranku. Ayah mendelik curiga. "Apaan nih, ngeledek aku ya..justru kalian mesti bersyukur ayah punya badan sekekar ini, bisa nakutin maling !". Ibu langsung tertawa terbahak-bahak,"Teoorrriiii...buktinya Handphone bisa kena copet!",sahut ibu meledek. Pipi ayah langsung memerah. Malu. "Yaa...lain dong antara maling sama copet. Waktu itu kan' saya nggak sadar kalau Handphone udah diambil," ayah mencoba berkilah. Ibu makin keras tertawanya. Ayah makin tengsin. "Udah..udah..cepetan ganti sprei baru dulu nih kasurnya. Rizky, cepat bantuin ayah benerin tempat tidur kita", kata ayah berkelit lalu dengan sigap memasang sprei baru di kasur "gusuran" itu.
Maka demikianlah, malam ini aku tidur bersama ayah dikamar itu. Untung saja ada fasilitas hiburan berupa komputer yang monitornya sudah dikonvert menjadi pesawat TV 14" ditambah alat TV-Tuner yang dibeli ayah di Ratu Plaza minggu lalu. Jadi meski tanpa AC, aku bisa menikmati hiburan sambil menonton TV atau VCD bahkan bermain game melalui komputer bersama ayah. Pada awal-awal pertama tidur bersama ayah, aku sedikit agak terganggu dengan suara dengkurnya yang keras dan berisik. Tapi lama-lama makin terbiasa, bahkan sudah kuanggap sebagai lagu "nina-bobo" yang melenakan. Namun tidur ayah bukannya berarti bebas dari usikan dariku. Tengah malam beliau terpaksa bangun mengganti celanaku yang basah sehabis ngompol atau kadang-kadang merubah letak tidurnya mengikuti letak tidurku yang tidak tentu arah posisinya. Ayah juga harus senantiasa siap "on-call" jika ibu memanggil butuh bantuannya mengurusi Alya yang rewel ditengah malam. Beginilah romantika yang indah keluarga kami.
ULTAH KEDUA DAN AQIQAH ADIKKU
MERIAH benar rumah kami hari ini, Kamis,25 November 2004. Bapu (sebutan kakek ala bahasa Gorontalo) dan Oma dari Makassar yang datang 2 hari yang lalu, dengan bersemangat mendekor ruang keluarga rumah kami menjadi ajang acara ulang tahun yang kedua yang dirangkaikan dengan Aqiqah adikku tercinta Alya Dwi Astari. Mbahku dari Yogya (minus kakek yang lagi sibuk panen jagung disana) sudah tiba berada dirumah kami sejak seminggu yang lalu. Sehari sebelumnya, ayah telah memesan serta menyaksikan penyembelihan satu kambing, sekalian dengan pengolahannya menjadi sate dan gulai di Sate Haji Thohir Pasar Minggu, tempat yang sama ketika ayah memesan kambing saat aqiqahanku 2 tahun yang lalu. Selain sudah terjamin kelezatannya, juga karena jika memesan di tempat tersebut, ayah bisa langsung menyaksikan penyembelihan kambingnya--hal yang sama tidak didapatkan bila memesan kambing di Cikarang. Ayah juga telah membeli Orange Tart yang begitu eksotis untuk dihias sebagai Kue Ulang Tahunku yang kedua di Holland Bakery-Pasar Minggu sesaat sebelum kembali kerumah setelah menyaksikan penyembelihan kambing.
Aku sedang meniup Tart Ulang Tahunku didampingi ayah dan ibu
Aku menatap ruang keluarga kami yang sudah dihiasi balon, kertas krep warna-warni serta tulisan "Happy Birthday" dengan mata berbinar. Bude Surat, Pak De Saman, Pak De Sukar, Pak De Kandar, Bu de Tuti, Om Dion, Tante Ida, Om Adi, Tante Hani (tetangga), Bapu, Oma dan Mbah terlihat begitu sibuk terjun dalam hiruk pikuk persiapan acara aqiqah adikku dan sekaligus peringatan Ulang Tahunku yang kedua. 50 buah Paket Hantaran yang terdiri dari Nasi, Telor Rebus, Kentang Goreng Sambal, Urap, Pisang, Segelas Aqua, Sate Kambing 5 tusuk dan sebungkus gulai tengah disiapkan plus "bonus" kue bolu, emping, dadar gulung , dan Cara' Isi ala Gorontalo buatan Oma. Sambil menggendong adikku Alya, Ibu tampak terlihat sibuk mondar-mandir mengecek kalau-kalau ada yang kurang. Aku juga ikut-ikutan sibuk membantu namun langsung dicegah oleh Om Adi sebagai tindakan preventif dari keisengan tanganku, yang kemudian membawaku bermain-main diluar. Tampak langit begitu mendung hari itu. Awan hitam menggelayut dan kilat menyambar-nyambar diatas sana. Terbayang dimataku hujan lebat sebentar lagi akan tiba. Om Adi memelukku erat-erat dan membawaku kembali masuk ke rumah. Dan benarlah, 10 menit kemudian hujan deras mengguyur ibarat air ditumpahkan dari langit tepat Pkl.15.30.
Untunglah persiapan hantaran sudah selesai. Tampak tumpukan hantaran ditata rapi didekat meja makan diruang keluarga kami. Sesaat kemudian, ayah datang dengan menumpang taxi dari kantornya. Beliau pulang lebih cepat hari itu. Tanpa mengganti baju lebih dulu beliau langsung memeriksa kesiapan acara aqiqahan malam ini yang akan dilaksanan selepas sholat Isya sekitar Pkl.19.30 malam. Senyum puas tersungging di wajahnya. "Rizky mandi!. Acara Ulang Tahun kita mulai seusai sholat Maghrib," kata ayah kepadaku. Maka demikianlah, acara gebyar-gebyur dikamar mandi bersama ayah dimulai. Mengingat situasi tidak mengizinkan, shower andalan ayah diistirahatkan dulu dan aku mandi dengan air hangat bersama ayah.
Bapu memotong rambut adikku Alya dalam prosesi Aqiqahnya
Selepas Maghrib, prosesi acara ulang tahunku yang kedua dimulai. Bertepatan dengan hari ini pula, Oma kebetulan juga berulang tahun yang ke-63. Segenap keluarga berkumpul dan ditengah-tengah, diatas meja, Orange Tart beserta 2 buah lilin kecil ditempatkan. Bapu membuka acara sekaligus memanjatkan doa yang segera di-amini bersama sebagai rasa syukur tak terhingga atas Ulang Tahunku yang kedua dan ultah Oma yang ke-63, dengan khidmat dan sakral. Setelah itu, aku diminta ayah untuk meniup lilin ulang tahun dan segera setelah lilin padam, bergemalah dengan riuh lagu Selamat Ulang Tahun dalam ruang keluarga kami. Aku sangat bahagia saat itu, meski tidak merayakannya bersama-sama rekan-rekanku yang seumur. Karena acara aqiqahan adikku kian dekat, acara potong kue Ultah ditunda dahulu. Diluar hujan mulai mereda, tapi gerimis masih turun.
Foto kami (dari kiri ke kanan):Oma, Aku dan Ayah, Ibu dan Alya, Bapu seusai acara Aqiqah Adik Alya dan Perayaan Ultah keduaku
Pak Ustadz Haji Suhadi sudah datang lebih awal kemudian menyusul tetangga-tetangga kami serta rekan-rekan ayah. Tamu yang hadir di acara aqiqah adikku sekitar 35 orang. Tepat Pkl.19.40 acara dibuka oleh ayah yang menyampaikan pidato sambutan. Tak lama kemudian terdengar suara menggelegar Ustadz H.Suhadi melantunkan lafal ayat-ayat suci Al Qur'an, Ceramah Singkat dan akhirnya Marhabanan. Seluruh tamu berdiri tatkala ibu yang menggendong adik Alya yang mengenakan busana tradisional ala Gorontalo yang dibawa Opa dan didampingi ayah yang membawa nampan berisi batok kelapa kuning gading dan gunting jalan berkeliling. Ustadz H.Suhadi mengawali pemotongan rambut adikku dan disusul oleh Bapu serta sesepuh di sekitar rumah kami. Aku melihat prosesi tersebut dengan khidmat sambil digendong Om Adi. Setelah selesai semuanya, adikku ditidurkan diatas bantal beralas sajadah didepan Ustadz Suhadi yang kemudian mengumandangkan azan dan Iqamat ditelinga adikku. Aku heran, dengan suara azan Pak Ustadz yang demikian keras (kira-kira hingga 2000 PMPO, kali ya..), adikku tetap tertidur pulas. Setelah selesai adikku dibawa kembali oleh ibu kekamar. Acara ditutup dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh Ustadz H.Suhadi. Tepat Pkl. 21.30 malam, rangkaian acara selesai. Sambil menggendongku, Ayah mengantar tamu-tamunya hingga ke gerbang pagar rumah. Senyum puas terukir di bibirnya.