PETER PAN FEAT MY FATHER, BACKGROUND DANCE BY RIZKY, KINCRING-KINCRING BY OM ADI, CHEERLEADER BY ALYA AND MY MOTHER AS DISC JOCKEY
Kutanya malam... dapatkah kau lihatnya
Perbedaan yang tak terungkapkan
Tapi mengapa kau tak berubah
Ada apa denganmu...
Oh hanya malam...
Dapat meleburkan segala rasa
Yang tak terungkapkan
Tapi mengapa kau tak berubah
Ada apa denganmu...
("Ada apa denganmu" from album "Bintang di Surga" , Peter Pan, taken from here)
ALUNAN lagu diatas berdentam hebat memantul di relung-relung ruang keluarga melalui speaker 1500 PMPO Mini Compo AIWA kami, Minggu pagi yang cerah, 23 Januari 2005. Ayahku yang funky abis itu, mengikuti bait demi bait lirik lagu vokalis Peter Pan Ariel dengan fasih plus suara baritonnya yang begitu fenomenal dan penuh penghayatan. Seperti biasa, kostum kebesarannya adalah kulit sawo matang banget beliau sendiri, karena sedang bertelanjang-dada ria dengan celana pendek "kebangsaan" warna biru kesayangannya. Aku ikuta berjoged disamping ayah dan Om Adi sangat atraktif membunyikan "kincring-kincring" mainannya Alya sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya yang makmur sentosa itu. Ibu yang sedang menggendong Alya geleng-geleng kepala menyaksikan pertunjukan norak kami. Setiap hari Sabtu dan Minggu merupakan hari merdeka buatku, karena pada hari itu, ayahku yang sangat "gue banget" itu libur dan aku ingin tidak ingin melewatkan waktu sedetikpun besertanya. Bila tidak main mobil-mobilan di Timezone Lippo Cikarang atau Plaza JB, seperti inilah salah satu atraksi kami menghabiskan liburan. Ibu yang bertindak sebagai pengamat juga menjadi Disc Jockey bila setiap lagu berganti. Alya boleh dikatakan sebagai Cheerleader yang ikut menggerak-gerakkan tangan dan kakinya setiap lagu didendangkan. Memang norak sih, tapi asyik lho...
SHOLAT IDUL ADHA BERSAMA AYAH
AKU mengucek-ngucek mata yang baru tersadar dari lelap tidur ketika ayah menggelitiki perutku untuk membangunkanku sholat Idul Adha bareng bersama ayah dan Om Adi. "Bangun dong jagoan, nanti telat nih kita sholat Id bareng. Tuh lihat baju kokomu sudah siap,"kata ayah seraya menunjuk kearah Ibu yang memperlihatkan baju koko coklat kepadaku. "Rizky Nggak usah mandi dulu, masih dingin nanti masuk angin. Cuci muka saja. Setelah pulang sholat baru mandi," saran Ibu. Ayah lalu membopongku ke kamar mandi dan mengajakku mencuci muka serta gosok gigi.
Aku melewatkan Sholat Idul Fitri 1424 H lalu, karena tidak mau dibangunkan dari tidur pulasku, namun kali ini ayah tidak mau kompromi dan mengajakku sholat bareng bersamanya. Tidak lama kemudian aku sudah berdandan dengan baju koko baru (meski tidak mandi) dan ayah dengan baju koko abu-abu kesayangannya. Om Adi juga sudah bersiap berangkat dengan mempersiapkan peralatan sholat kami. Pukul 06.30 kami meninggalkan rumah menuju Masjid Al-Hidayah sekitar 300 meter dari rumah kami. Gema takbir, tahlil dan tahmid bergema menggetarkan pagi.
Karena isi mesjid sudah penuh, kami mengambil tempat dipelataran depan mesjid. Cuaca mendung tapi untung saja hujan tidak turun. "Rizky, kamu nggak boleh rese' ya nanti kalau Sholat ?", kata ayah mengingatkan.
Aku hanya mengangguk pelan, masih ngantuk euy!. Saat sholat dimulai aku duduk disamping ayahku, tapi saat sholat dimulai, keisenganku mulai timbul dengan menarik-narik sarung ayahku atau memasukkan kepala kedalam sarungnya. Ayah melotot kearahku. Kalau sudah melihat pelototan itu, aku nyerah deh. Takuuutt....
KASUR GUSURAN "STRIKES BACK"
AKU tersentak kaget dari lelap tidur ketika malam itu ayah, yang baru pulang dari kantor karena terjebak macet sewaktu akses jalan kebanjiran dan hujan lebat di Jakarta, membangunkanku dengan menggelitiki perut. Pukul 22.00 malam, aku melirik jam dinding. "Kita pindahan yuk," kata ayah pelan. Rambut beliau masih basah oleh bekas hujan yang begitu deras diluar sana. Aku digendong ayah dengan kantuk yang masih menggayut di mata.
Aku tidak peduli mau pindah kemana, yang penting aku mau melanjutkan tidurku. Aku lalu memeluk leher ayahku erat-erat dan siap-siap terkulai tidur (lagi) dibahunya. Namun tiba-tiba aku kaget saat kudengar derit "kasur gusuran" kami berpindah tempat. Ayah meletakkan tubuhku disamping Alya yang sudah tidur pulas di tempat tidur di kamar utama dan bergegas membantu Om Adi yang sibuk menggeser "kasur gusuran" itu. Aku bangun dan melihat kesibukan itu dari dekat. Tampak ayah dan om Adi mengangkat "kasur gusuran" itu pindah ke kamar utama. "Rizky, awas !, minggir..", seru om Adi memperingatkan. Aku menggeser tempatku berdiri, namun mendadak ibu datang menggendongku. "Jangan dekat-dekat situ Rizky, nanti kejepit", kata ibuku khawatir dan berpindah agak jauh dari aktifitas "pindahan" itu. Olala...ternyata "kasur gusuran" itu pindah kembali ke tempat semula, kamar utama. Memang sih, kapasitas kamar utama yang luasnya 4 x 4 meter, masih cukup lapang untuk menampung satu lagi Spring Bed ukuran 180 x 200 cm itu, namun, apa boleh buat, terpaksa mesti merelakan lemari pakaian ayah & ibuku pindah ke kamar sebelah. Aku bersorak gembira menyambut perubahan ini, bukan karena ada fasilitas AC dikamar utama, tapi aku akan sangat senang loncat-loncat dari satu kasur ke kasur yang lain. Maka demikianlah, mulai malam itu, kami sekeluarga tidur dalam satu kamar. Ibu dan ayah tidak perlu "pisah-ranjang" lagi seperti dulu dan aku punya fasilitas bermain yang lebih luas untuk loncat-loncat tuing-tuing diatas dua kasur spring bed. Nggak apa-apalah, akibatnya pahaku merah kena cubit ibu atas kenakalanku itu. Yang penting, enjoy aja lagi!.
DAN TETE' AYAHPUN DIKENYOT ALYA
TERKADANG aku merasa, ayah terlihat agak berlebihan dalam berekspresi. Yang bikin aku dan ibu kesal tapi geli, ayah senantiasa mengidentikkan dirinya sebagai Ade Rai Binaragawan terkemuka Indonesia yang kekar dan atletis itu. Meski dengan bentuk badan yang sungguh sangat tidak simetris, tanpa sepotong pakaian menempel dibadan (tapi pake celana dong tentunya!) berkeliaran didalam rumah sambil berusaha sekuat tenaga memamerkan otot bisep dan trisepnya dihadapanku, yang mana--malangnya, malah justru menonjolkan lemak diperut buncitnya. Ibu hanya memandang ayahku dengan iba dan sedetik kemudian terkikik geli melihat kelakuan babenya Rizky dan Alya yang begitu melodramatis tapi kocak. Kalau sudah begitu, ayah dengan cueknya balas mengejek ibu dengan meng-geal-geolkan pantatnya seperti goyang ngebor Inul.
Udara di Cikarang memang panas dan itu senantiasa jadi alasan pembenaran bagi ayahku untuk memilih bertelanjang-dada ria didalam rumah. Termasuk pula ketika menggendong Alya di hari Minggu, 16 Januari 2005. Maka terjadilah “musibah” yang menghebohkan itu. “WADAWWWW!!”, jerit ayah kesakitan. Ibu yang sedang asyik memotong kukuku di teras depan datang tergopoh-gopoh.
“Kenapa ? Kenapa ?”, Tanya Ibu panik. Aku ikut menyusul dibelakang beliau.
Ayah menjawab sambil meringis,
“Tete’ ku dikenyot Alya !”, sahut ayah prihatin seraya meletakkan adikku Alya di box bayinya.
“Haaahhh ?”, ibu mendelik tak percaya. Beliau langsung memeriksa Tete’ (mungkin payudada kali yee..soalnya ayahku kan’ laki-laki ? hehehe..Masa’ mesti Payudara ?) ayah dan beberapa detik kemudian meledaklah tawa ibu.
Ayah mesam-mesem.
“Kalo tete’ dikenyot sih nggak apa-apa, tapi rambut tipis di sekeliling tete’ku yang dikenyot dan lantas ditarik Alya itu yang bikin sakit. Tuuh..lihat sampai merah-merah kan’ ?. Lain kali kalo nyuruh aku gendong Alya, mestinya kamu kasih susu dulu dong!. Masa’ tete’ku jadi korban gini ?”, kata ayah menjelaskan insiden tadi sekaligus memamerkan sisa “kenyotan” Alya di tete’nya. pada ibu. Sambil tetap menahan tawa sekaligus wujud solidaritas, ibu melihat kembali dan tampaklah sejumlah helai rambut yang dulunya bertengger rapi disekeliling tete’ ayah tercerabut dari akarnya. Ibu tidak menjawab malah lalu ngeloyor masuk kamar.
“Eits..eits..mau kemana ?” Tanya ayah.
Tak lama kemudian ibu muncul dari kamar sambil membawa satu pasang breast-pad (busa penahan ASI di BH) miliknya sambil menyodorkannya ke Ayah.
“Apaan nih ?”, ayah keheranan
“Gendong lagi si Alya dan pake ini di tete’, Dijamin nggak bakal dikenyot Alya lagi deh”, balas ibu santai.
Ayah melongo. Nampaknya beliau shock juga disodori perabotan aneh itu.
“Cara pakenya gimana ?”, ujar ayah bingung
“Ya..Breast Pad ini ditempelin kedalam BH”
“Lha, berarti saya mesti pake BH dong !”
“Yaaaa…begitulah..”, sahut ibu masih dengan sangat santainya.
Ayah bingung sambil garuk-garuk kepala.
“Keciaaaaan deh lu,” kata ibu sambil kabur menggendongku ke teras depan seraya tertawa terpingkal-pingkal.
JARI MANIS KIRIKU TERJEPIT PINTU KAMAR
INI adalah salah penderitaan yang sungguh menyakitkan. Hari Kamis siang, 6 Januari 2005, tanpa sengaja ibu menutup pintu kamar dimana pada saat yang sama, tangan kiriku tidak berada dalam tempat yang seharusnya untuk memegang. Maka tak ayal lagi jari manis kiriku pun menjadi korban kebiadaban jepitan engsel pintu. Aku berteriak histeris dan menangis sekencang-kencangnya. Ibu buru-buru memeluk dan membujukku. Rasa bersalah terpancar diwajah beliau. Dengan panik ibu segera mengambil obat merah dan thrombopop gel (salep dingin penurun bengkak) lalu mengoleskan ke jari manisku. Tangisku tetap tidak berhenti dan semakin besar volumenya tatkala menyaksikan jari manis kiriku khususnya dibagian ujung kuku mengalirkan darah dan berwarna biru lebam serta mulai membengkak.
Ibu lantas memelukku mengalirkan ketenangan. Tak lama kemudian ibupun menelepon ayah dikantor dan menceritakan semuanya. “Tidak, jari Rizky tidak putus. Jangan sewot begitu dong. Sudah diobati koq biar nanti sebentar sore setelah kamu pulang kantor kita bawa ke dokter. Pokoknya tenang sajalah,” kata ibu dengan nada sekalem mungkin untuk meredakan kegusaran ayah pada jagoan kecilnya yang, ternyata harus kalah dari engsel pintu ketimbang bertarung melawan monster sebagaimana layaknya film “Power Rangers” . Ibu lalu mengangsurkan telepon ke telingaku dan mendengar suara ayah diseberang sana. Nada cemas dan gelisah terdengar suara bariton beliau, “Rizky, kamu nggak apa-apa kan’ nak ?, Nanti sebentar sore kita periksa ke dokter, jangan banyak gerak dulu ya ? Ayah usahakan bisa pulang cepat hari ini,”kata ayah membujukku. Aku tidak berkata apa-apa, namun setidaknya dengan mendengar suara ayah aku sudah agak tenang sedikit. Ibu kemudian melanjutkan pembicaraan dengan ayah ditelepon. Atas instruksi ayah, jariku yang bengkak dikompres dengan air es dan tak lama kemudian akupun tertidur pulas.
MEMBUKA TIRAI TAHUN BARU DENGAN PRIHATIN
TIRAI tahun 2005 telah dibuka. Tepat Pkl.12.00, 1 Januari 2005, tengah malam, kami sekeluarga merayakannya dengan rasa prihatin yang mendalam mengenang duka yang dirasakan oleh saudara-saudara kami nun di Aceh sana pasca bencana Tsunami dan Gempa. Ibu bangun dari tempat tidur dengan mata sayu, aku dibangunkan oleh ayah dari tidurku yang pulas 4 jam yang lalu dan Om Adi masih mengucek-ngucek matanya mengusir kantuk yang masih mendera. Adik Alya tetap tidur dengan tenang dikamar utama.
Dengan suara pelan ayah memimpin doa selamat yang dipersembahkan untuk Kakek/Nenek di Yogya dan Makassar, untuk kami sekeluarga dalam menyongsong tahun depan yang kian berat dan akhirnya do'a panjang umur agar kami sekeluarga senantiasa mendapatkan perlindungan dari Allah SWT serta menitip harapan sebagai resolusi menghadapi tahun baru yang akan datang.
Pada penutup do'anya Ayah juga mengirim do'a kepada seluruh korban musibah bencana alam tsunami dan gempa di Aceh, semoga yang berpulang diberi tempat yang layak disisiNya dan yang ditinggalkan diberikan ketabahan dalam menghadapi musibah yang dashyat ini. Ayah kemudian mencium kami (ibu dan aku) satu persatu, lalu memeluk Om Adi (adik sepupu ayah yang untuk sementara waktu jadi "baby sitter"-ku menunggu panggilan kerja di Cikarang). Tidak ada acara istimewa yang kami laksanakan menyambut tahun baru ini. Pada awal tahun lalu, ketika kami masih tinggal di rumah Kontrakan di Kompleks POMAD Kalibata, acara tahun baru dirayakan amat meriah dengan membuat ikan bawal bakar didepan rumah dan hidangan istimewa lain. Pada tahun baru kali ini, ibu hanya membuat hidangan sambal goreng hati kentang kesukaan ayah. Oleh karena ayah pulang setengah hari pada dari kantor tanggal 31 Desember 2004, beliau sempat singgah membeli beberapa roti di counter "Bread-Talk" di Plaza Semanggi-Jakarta. Hidangan inilah yang kami makan menyambut tahun baru 2005. Aku hanya memakan secuil roti yang diangsurkan ayah ke mulutku dan kemudian terkulai dibahu ayahku. Tidur. Aku merasakan belaian tangan ayah mengusap rambutku dan mendengarnya bergumam pendek,"2005 penuh tantangan berat"..