SIANG itu, Rabu 9 November 2004, ibu menelepon ayah dengan raut muka cemas. Samar-samar kudengar ibu berbicara dengan bibir bergetar,” Selaput ketubannya sudah pecah, cepat pulang”. Segera setelah menutup telepon, ibu bergegas mengemasi koper yang sudah dipersiapkan untuk dibawa ke rumah sakit. Om Adi, yang sejak seminggu sebelumnya mendampingi kami dan mengambil cuti panjang dari tempat kerjanya menggendongku keluar untuk memberi ruang gerak bagi ibu untuk mempersiapkan segala sesuatunya tanpa harus direcokin oleh ulah usilku bongkar sana sini.
Mungkin karena sudah jadi sugesti, ibu dan ayah akhirnya memilih tempat aku dilahirkan dulu Rumah Sakit Bersalin Siaga-2 Pejaten dengan dokter Nining Haniyanti,SpOG sebagai penolong persalinan bagi adik kecilku. Dari konsultasi terakhir seminggu yang lalu, mengingat kondisi pinggul ibu yang relatif kecil tampaknya kemungkinan untuk bedah Caesar lagi sangat besar dan hal itu dapat dimungkinkan sekitar tanggal 8-10 November 2004 saat usia janin sudah cukup “bulannya”. Ayah dan ibu hanya bisa pasrah menerima kenyataan ini. Dan demikianlah, sekarang saatnya telah tiba.
Me and My Lovely Mother..
Pkl.17.00 sore, ayah tiba dari kantor dengan menumpang taxi Blue Bird setelah sebelumnya mem-booking kamar VIP di RSB Siaga II untuk kami serta menghubungi Dr.Nining mengenai keadaan ibu saat ini. Kebetulan saja jarak antara rumah bersalin tersebut dan kantor ayah relatif dekat, meski memang jarak antara rumah sakit itu dan rumah kami di Cikarang lumayan jauh.
Keluar dari taxi, ayah menciumku cepat-cepat. Aku melihat sekilas sikap khawatir dan panik di wajah beliau. Om Adi kemudian membantu ayah memasukkan tas dan koper ke bagasi taxi yang sama yang membawa ayah dari kantor. “Jaga rumah baik-baik ya, Di”, pesan ayah pada Om Adi seraya menatap tajam ke arahnya. Om Adi mengangguk pelan,
“Beres Kak,” jawabnya tegas, Ayah kemudian menuntun ibu masuk ke taxi setelah itu mengambil alih aku dari gendongan Om Adi.
“OK, Pak kita berangkat lagi balik ke Jakarta di RSB.Siaga II Pejaten,” seru ayah kepada Pak Supir Taxi. Pak Supir mengangguk pelan dan tak lama kemudian Taxi pun melaju menembus senja yang makin tua. Tepat Pkl.19.00 malam, kami tiba di rumah sakit. Ibu Bidan Nelly sebagai koordinator rumah bersalin tersebut menyambut kami dengan ramah dan menunjukkan kamar VIP kami. “Jadwal operasi ibu malam ini sekitar pkl.23.00, jadi untuk sementara waktu, silakan beristirahat dulu sampai waktunya tiba”, kata Bidan Nelly pada ibu. Tersirat rona kecemasan diwajah ibu sampai akhirnya beliau mengangguk pelan. Ruang tidur VIP kami lumayan bagus dan nyaman, terdapat satu buah ranjang spring bed ukuran king size, TV Berwarna 21”, Berpendingin ruangan AC 1 PK, Lemari Pakaian, Kulkas dan Kamar Mandi didalam. Aku sempat kecewa karena aku tidak bisa memutar VCD Teletubbies kesayanganku disitu. Tapi tak apa-apalah, demi menyambut kedatangan adikku yang manis. Tak berapa lama kemudian datang Bude Surat dan Pak De Saman serta anaknya Mas Dwi dari Tanjung Priok, menyusul lagi Om Dion dan Tante Ida ikut menyongsong hingar bingar kelahiran adikku. Ibu tidak sempat beristirahat karena asyik mengobrol dengan saudara-saudaranya. Pkl.21.00 malam, mataku tak bisa diajak kompromi. Aku begitu mengantuk dan merebahkan diri di pangkuan ayah. Samar-samar aku mendengar suara ayah pada ibu: “Operasinya ditunda sampai Pkl. 01.00 malam ini, karena Dokter Nining harus menangani pasien Di RS.Ongko Mulyo-Kelapa Gading”. Ibu mendengus kesal, mungkin karena beliau merasa detik-detik menanti operasi Caesar ini ibarat menunggu waktu eksekusi bagi terpidana hukuman mati yang begitu menegangkan. Ayah mengelus rambut ibuku untuk menenangkannya. “Jangan stress gitu dong. Bayangkan, beberapa jam lagi kita akan mempunyai anak perempuan yang cantik yang bisa kamu dandani misalnya dengan baju biru berenda ungu yang bagus dengan rambut dikepang warna merah muda. Ini hanya soal penundaan waktu saja koq. Jadi berfikir positif sajalah dan tidak usah panik” kata ayah pada ibu diiringi tatapan mesranya yang begitu fenomenal itu. Ibu hanya diam lalu tersenyum Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi, berkelana jauh ke pulau kapuk, dengan kepala terkulai pulas diatas pangkuan ayah.