SUNGGUH TEGANYA MBAK IDA, TEGANYA..TEGANYAA..TEGANYAAAA...!
“ Bu, saya pulang ya, bu,” pamit Mbak Ida Dora, pembantu rumah kami dengan suara serak menahan haru, ketika kami sekeluarga mengantarnya dirumah sang penyalur pembantu di Jl.Beruang. Letaknya sekitar 300 meter dari rumahku dan kami kesana sekitar pukul 19.30 malam tanggal 27 Oktober 2005.
Rencananya, Mbak Ida Dora bersama 3 orang pembantu lainnya yang kebetulan bertugas di Perumahan Cikarang Baru akan diatur kepulangannya ke kampung mereka masing-masing untuk mudik lebaran di daerah Pemalang, Jawa Tengah oleh sang penyalur, bersama-sama dengan menumpang bis Sinar Jaya dari Cibitung keesokan paginya.
Ibu langsung memeluk erat pembantu kesayangan yang sudah beliau anggap sebagai adiknya sendiri itu. Mata beliau berkaca-kaca.
“Jaga dirimu baik-baik ya. Hati-hati dijalan. Salam sama orang tua dan adik-adikmu disana. Dan jangan lupa balik kesini ya ?”, ujar ibuku sambil menepuk lembut pipi Mbak Ida Dora.
Terlihat Mbak Ida menggigit bibir lalu menunduk.
“Terimakasih, bu. Nanti saya telepon kalau jadi balik ke Cikarang lagi,” sahut Mbak Ida Dora dengan suara lirih sembari mencium tangan ibuku.
Ibu menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Terasa benar, beliau merasa sangat kehilangan atas kepergian Mbak Ida Dora.
Mbak Ida Dora menoleh kearahku lalu meraih dalam dekapannya.
“Rizky, nggak boleh nakal ya. Mbak Ida mau pulang kampung dulu,” kata Mbak Ida Dora seraya mengelus rambutku. Aku mengangguk dan memeluknya erat-erat. Keharuan terasa menyesak dadaku. Teringat kembali masa-masa indah yang kulalui bersama Mbak Ida Dora, terutama saat menemaniku bermain perosotan dan ayunan di Taman belakang rumah sambil menyuapiku, atau ketika Mbak Ida Dora memandikanku di bak mandi lalu—seperti biasa—saat keisenganku kumat, aku mengambil selang air didekatku dan menyiramkannya pada Mbak Ida yang kemudian menjerit-jerit karena bajunya ikut basah. Aku tertawa terpingkal-pingkal saat itu.
Mbak Ida Dora menyeka airmata yang menetes dipipinya saat mencium adikku Alya yang sedang digendong ibuku. Alya seperti merasakan nuansa kesedihan yang sama. Ia hanya diam saat Mbak Ida Dora mengambil alih dari gendongan ibuku. Aku tidak tahu apa yang dibisikkan oleh Mbak Ida Dora ketelinga adikku ketika itu. Yang jelas, saat dikembalikan lagi oleh Mbak Ida kepada ibu, Alya langsung menangis.
Ayah terlihat lebih tegar saat menjabat tangan Mbak Ida Dora. Namun dari raut wajah beliau juga menyiratkan rasa kehilangan yang mendalam.
“Saya pamit pulang ya Pak,” kata Mbak Ida Dora.
Ayah mengangguk pelan. “Hati-hati di jalan ya Ida,” kata beliau.
Tak lama kemudian, kamipun sudah bersiap kembali kerumah diatas sepeda motor Suzuki Shogun kami. Aku duduk didepan ayah yang mengendarai motor dan ibu menggendong Alya dibelakang.
Mbak Ida Dora mengantar kami didepan gerbang rumah sang penyalur dengan seulas senyum manis. Tak terasa mataku terasa panas, dan bulir-bulir airpun mengalir perlahan dari sana. Kembali Mbak Ida Dora datang kepadaku dan mengelus lembut rambutku.
“Doakan Mbak Ida ya ?” katanya.
Ayah lalu menstarter motor dan kemudian melaju pelan. Aku masih menoleh kebelakang dan melihat untuk terakhir kali sosok Mbak Ida Dora. Lamat-lamat terdengar lagu dangdut Meggie.Z “Anggur Merah” yang tiba-tiba syairnya berubah menjadi : “Sungguh teganya, Mbak Ida, teganya..teganyaa..teganyaaaa….oooooo….pada dirikuuu…”
SHOLAT TARAWIH BERSAMA AYAH
PUASA 1426H tahun ini sangat berkesan bagiku. Jika tahun sebelumnya ayah tidak sholat Tarawih di Mesjid karena harus tetap siaga bila sewaktu-waktu ibuku melahirkan, maka untuk tahun ini ayah berkesempatan mengajakku sholat Isya dan Tarawih di Mushola belakang rumah kami.
Jarak Mushola dan rumah kami cukup dekat. Hanya kurang lebih 50 meter. Mushola yang berdekatan dengan lapangan bulutangkis tersebut dibangun dengan dana swadaya RT.02 plus bantuan sejumlah dermawan 4 tahun silam. Kalau siang atau sore, Mushola tersebut dimanfaatkan untuk sarana TPA (Taman Pengajian Al-Qur’an) oleh anak-anak. Berukuran hanya 5 x 5 meter persegi dengan tembok bata bercat putih agak kusam, Mushola Al-Ishlah nyaris penuh oleh Jama’ah Sholat Tarawih.
Khusus untuk jamaah wanita dipisahkan oleh tabir warna putih namun karena keterbatasan tempat, terpaksa agak mundur kebelakang dekat lapangan bulutangkis yang sudah dilengkapi atap terpal plastik. Aku sangat girang karena ternyata banyak ketemu kawan-kawan sebayaku yang seumur dan sedang asyik bermain-main disekitar Mushola. Mereka bersendau gurau begitu heboh. Ayah tetap mengawasiku dari jauh.
Ketika tiba waktu Sholat Isya, ayah menyuruhku berada di dekat tempat beliau. Kebetulan, sudah menjadi "kelakuan biasa" bagi ayah untuk sholat pake sarung. Katanya sih lebih adem dan "semriming" (istilah untuk "sejuk"). Berbeda jika sholat di rumah, ibu dengan sigap beraksi jika aku terlihat punya gelagat untuk meng-usili Sholat ayahku. Namun karena saat ini sedang banyak kawan-kawan sebayaku yang bermain dan berlari-lari serta main petak-umpet disekitar lapangan bulutangkis/Mushola dan ibu tinggal di rumah bersama adik Alya, penyakit isengku kumat lagi.
Ketika ayah dalam posisi berdiri, aku segera masuk ke balik sarungnya. Bersembunyi. Yaa..ampuun, seperti kuduga, ayahku hanya memakai Celana Dalam doang dibalik sarung!. Terlihat ayah berusaha memberiku isyarat dengan menggerak-gerakkan pahanya perlahan agar aku segara minggat dari "tempat persembunyian" teramanku. Aku terkekeh, mungkin ayahku mulai kegelian nih. Aku melongokkan kepala dari balik sarung lalu melihat ayah yang tampaknya setengah mati menaklukkan rasa gelinya. Beliau melotot tajam kearahku, tapi terlambat, dalam hitungan detik aku lalu menarik bulu kaki ayahku.
"AWWW," desis ayahku pelan saat 4-5 helai bulu kaki beliau, aku cabut dengan sadis.
Aku mengintip, dan terlihat ayahku begitu menderita seraya menatapku menyiratkan -rizky-stop-tidak-baik-menganggu-ayah sholat.
Aksi selanjutnya, aku lakukan kembali. Sejumput bulu kaki kembali aku tarik dan ayahku hanya ber-ah-oh saja menahan sakit.
Saat sholat usai sembari meringis, ayah menjewer telingaku dengan gemas.
"Jangan nakal ya kamu Rizky. Bulu kaki ayahmu ini ada jimatnya, tahu!. Jangan sembarangan dicabut!" ujar ayahku geram.
Maka demikianlah, keesokan harinya, demi stabilitas Mushola, ayah memutuskan untuk sholat Isya saja di Al-Ishlah dan sholat tarawihnya dilanjutkan di rumah.
BERAPA NILAI BLOG-KU ?
Hehehe...lumayan juga ya, "nilai jual" blogku!.Setara dengan 1,073 kupon kompensasi BBM (jika 1 USD = Rp 10,000 dan kupon kompensasi BBM Rp 100,000,-)
DAMPAK DRAMATIS HARGA BBM NAIK
KENAIKAN harga BBM per tanggal 1 Oktober 2005 yang sungguh signifikan, tak urung membuat perekonomian keluarga kami ikut terhuyung-huyung. Ibuku yang memiliki latar belakang pendidikan accounting jadi ikut pusing tujuh keliling menyiasati anggaran belanja. Beliau kemudian melakukan kaji ulang atas seluruh pengeluaran keluarga dan sebisa mungkin menekannya agar sesuai dengan dana belanja bulanan.
Apalagi ayahku, yang langsung ikut uring-uringan lantaran biaya transportasi dari/ke tempat kerjanya di Jakarta ke/dari rumah kami di Cikarang melonjak hingga sekitar 60%. Sempat terfikir oleh ayah untuk naik motor saja dari rumah ke kantor, tetapi dengan mempertimbangkan kumatnya kembali ambeien yang beliau derita akhirnya niat itu diurungkan.
Dampak langsung yang aku rasakan sungguh mengenaskan. Anggaran jajanku beli permen dan biskuit pun dipangkas oleh ibuku. Jika dulu anggaran tersebut tidak terbatas, dalam arti ketika aku kepingin bisa langsung dibeli, maka sekarang..boro-boro!. Ibuku dengan tegas dan tanpa kompromi menolak permintaanku, meski aku sudah pasang wajah sememelas mungkin bahkan melakukan unjuk rasa atau ngambek dibelakang pintu kamar.
Rupanya langkah penghematan anggaran itu menjalar ke seantero rumah kami. Mulai dari menu makanan sehari-hari hingga jadwal kunjungan rutinku main mobil-mobilan di Plaza JB atau Mal Lippo Cikarang setiap akhir pekan. Khusus untuk yang terakhir, ayah sengaja membelikan CD-ROM game yang persis sama dengan di Timezone untuk dapat aku mainkan di komputer kami.
"Kita semua sedang prihatin, nak," kata ayahku lirih dengan mata berkaca-kaca saat melihat tontonan berita dilayar TV yang menampilkan masyarakat penerima dana kompensasi BBM berebutan mengambil bagiannya. Ibuku yang sedang menyusui adik Alya hanya menghela nafas panjang seperti meng-amini pernyataan ayah. Aku sempat melihat kegetiran teramat dalam dimata beliau.

"Kalau kondisi seperti ini berlangsung terus dan tidak ada penyesuaian gaji dari kantor, bisa-bisa ayah nyambi jadi tukang ojek nih," sambung ayah pelan. Beliau lalu mengelus rambutku dan membawaku ke pangkuannya.
Ibu tercengang tapi tidak berkomentar apapun. Ruang keluarga kami jadi lengang sesudahnya. Terlintas dalam benakku, jika ayahku yang keren abis dan ganteng kemana-mana itu, menjelma menjadi tukang ojek : pake rompi hitam bertuliskan "Motorcycle Taxi Kota Jababeka", topi butut, rambutnya kusam, kulit hitam legam terbakar matahari, dan kumisnya melintang sangar tak teratur karena jarang dicukur. Dari sanubariku terdalam aku berdoa : "Ya Allah, berikanlah kami jalan keluar dari masalah ini dan bukakanlah pintu hati atasan ayah supaya bisa menaikkan gaji beliau sehingga ayahku yang tampan ini tidak berubah fikiran untuk mencari tambahan penghasilan sebagai tukang ojek. Amin".