SEPEDA DINAS BARU IBU MENELAN "KORBAN"
SABTU kemarin (26/06) benar-benar hari sial buatku. Seperti biasa, tiap hari libur, disore hari, aku diajak ayah boncengan jalan-jalan keliling kompleks perumahan kami, dengan sepeda "dinas" ibuku. Sadel sepeda yang tempo hari "menyodomi" ayahku sudah diperbaiki dan dimodifikasi lebih kokoh serta dijamin mampu memikul beban tubuh montok sexy ayahku.
Sejauh ini, tidak ada masalah yang berarti, seperti sadel melorot. Apalagi selama dibonceng, ayah selalu memeriksa keadaanku dibelakang apakah selalu berada dalam "proper place" (tempat yang seharusnya), karena kadang-kadang aku tidak berada dalam posisi yang "seyogyanya" mungkin karena tiba-tiba sepeda menggilas "polisi-tidur" atau "kuburan-ular", juga jika ada anak cewek sebayaku bertampang lumayan melintas atau berpapasan dengan sepeda andalan ibuku itu, aku--sebagai selebriti Cikarang--jadi agak-agak Ja-Im dan akibatnya posisi dudukpun terganggu.
Setelah selesai membeli Es Krim Paddle-Pop kegemaranku di warung Jln.Beruang, ayah menggendong dan menaikkan aku keatas sadel boncengan sepeda dengan hati-hati.
"Jangan banyak goyang kamu ya ?," kata ayah mengingatkan. Aku hanya mengangguk sambil memegang erat sadel belakang sepeda.

Setelah memastikan semuanya beres, ayah berkata :
"Penumpang yang terhormat, mari kita meluncur kembali kerumah, dengan kecepatan jelajah 10 km/jam dan ketinggian 0,5 meter diatas permukaan aspal. Pilot hari ini adalah saya sendiri dan Co-Pilot merangkap penumpang adalah Rizky. Karena tidak ada sabuk pengaman, tolong pegang erat-erat pinggang pilot supaya tidak jatuh. OK ?."
Maka meluncur muluslah sepeda kami menyusuri aspal diiringi senyum beberapa pengunjung warung yang baru saja kami kunjungi tadi mendengar pengumuman konyol ayahku.
Namun baru berjalan 100 meter, mendadak kaki kiriku masuk ke jeruji sepeda yang tengah dikayuh ayah. Aku menjerit sekuat-kuatnya. Ayah terkesiap kaget lalu menghentikan sepeda. Dan pemandangan memilukan pun terpampang didepan mata kami. Tumit dan permukaan atas kaki kiriku lecet digilas jeruji ban sepeda belakang. Di bagian mata kaki terlihat biru lebam, mungkin terkilir karena terikut putaran jeruji ban. Aku tak bisa menggerakkan kakiku. Sakitnya luar biasa. Aku lalu menangis sekencang-kencangnya. Ayah begitu panik dan memelukku erat-erat.
Sambil menuntun sepeda dan menggendongku, ayah berjalan ke Klinik KASIH-BUNDA yang terletak tak jauh dari tempat insiden tadi berlangsung. Ayah sempat meminjam telepon klinik untuk menelepon ibu dirumah. Ibu Dokter jaga di klinik 24 jam itu langsung memberikan tindakan pertolongan pertama pada cedera kakiku. Sambil dipegang oleh ayah dan seorang perawat, Ibu Dokter membersihkan luka dan mengolesi obat. Aku berteriak kesakitan. Lima menit kemudian ibu datang tergopoh-gopoh sambil meminjam sepeda ibu Ahmad tetangga kami. Beliau langsung memelukku dan memelototi ayah dengan sorot mata garang.
"Koq si Rizky bisa celaka begini sih ? Makanya bawa sepeda mesti hati-hati dong!," ujar ibuku dengan nada tinggi. Ayah angkat bahu dan tidak menjawab. Tampaknya rasa bersalah menyelimuti batin beliau.
"Aaah..nggak apa-apalah, paling 3 hari sembuh. Anak laki-laki memang biasa luka-luka. Supaya lebih kuat dan tangguh," sahut ayah berkilah.
Ibu lalu mencubit pinggang ayah dengan gemas.
"Semoga ada hikmahnya. Mudah-mudahan, bisa dikasih rezeki nanti oleh Allah SWT, untuk beli sepeda motor. Jadi nggak ada acara kejepit jeruji sepeda lagi," kata ayah dengan mimik lucu yang disambut derai tawa oleh Ibu Dokter dan perawat. Ibu tersenyum kecut.
"Ya..udah kalo begitu, sebagai hukuman, ayahnya Rizky mesti bonceng kita berdua pulang ke rumah dulu. Biar saya yg gendong Rizky dibelakang. Sepedanya ibu Ahmad, titip sementara diklinik. Nanti ayah kembali lagi kemari mengambil sepeda itu. OK ?," usul ibuku, yang disambut anggukan pasrah ayahku.
Maka demikianlah, kami pulang kembali ke rumah dengan sepeda dinas ibuku. Ayah dengan nafas tersengal-sengal mengayuh sepeda sambil membonceng ibu yang menggendong aku. Jalannya terseak-seok karena berat badan kedua orangtuaku yang montok dan sehat itu. Sejumlah orang menatap iba pada kami dan mungkin dalam hati mereka ikut berkata,"Kasihan banget tuh sepeda, menanggung beban penderitaan yg begitu berat".
TELKOM FLEXI HOME RUMAH KAMI
KEMARIN pagi, Pak Anton, seorang sales representative Telkom Flexi Home Bekasi mendatangi rumah kami setelah sehari sebelumnya beliau datang mempresentasikan produknya kepada ayah dan ibu. Sudah sejak Mei 2004, ayah sudah mengajukan aplikasi pemasangan telepon baru di Telkom Cikarang, namun sayangnya belum ada jaringan yang masuk di lingkungan sekitar perumahan kami.
Dari penjelasan Pak Anton, tampaknya Telkom lebih berkonsentrasi memasarkan telepon berbasis wireless karena biaya infrastruktur telepon kabel relatif lebih mahal. Dengan demikian, Telkom Flexi Home menjadi produk andalan untuk perumahan.
Sebenarnya, untuk soal komunikasi, ayah dan ibu sudah memiliki masing-masing satu buah handphone berbasis GSM. Namun tampaknya, biaya percakapan menjadi kendala. Bagi ayahku, dengan biaya pembayaran handphone dibayar oleh kantor, mungkin saja tidak menjadi masalah besar. Namun buat ibuku, yang selalu bergantung pada ketersediaan sisa pulsa yang dibeli dari Voucher isi ulang menjadi masalah besar. Apalagi, aku juga terkadang ikut-ikutan "gatal" ingin menelepon ayah dikantor. Yang menjadi masalah lain adalah, keluarga dan handai-tolan agak segan (atau malas?) menelepon baik ke handphone ayah maupun handphone ibu dengan memperhatikan biaya roaming atau airtimenya yang lumayan mencekik.
Melalui Telkom Flexi Home, kendala yang ada bisa ditepis. Apalagi tarif percakapannya sama dengan telepon rumah jaringan kabel biasa. Akhirnya, kemarin, dipasang TelkomFlexiHome dirumah kami. Untuk menambah kekuatan sinyal (agar lebih mudah dan cepat mengakses internet), ayah membeli pula seperangkat antena yang dihubungkan langsung via telepon.
Ibu dan ayah langsung menjajal kehandalan telepon tersebut dengan mengontak Bapu dan Oma di Makassar serta Om Ahmad di Yogya.
"Waahh..lumayan bagus lho. Suaranya jernih," kata ibu antusias. Ayah manggut-manggut.
Aku ikut gembira. Dan langsung mencoba meraih gagang telepon yang dipegang ibu.
"Hallooo..Bapu, apa kabar ?," sapaku riang pada Bapu di Makassar.
SEPEDA DINAS BARU IBUKU
Mohon maaf sebelumnya para pemerhati blog-nya Rizky, karena baru sekarang di-update lagi. Maklumlah, aku lagi agak-agak "Bad-Mood" nge-blog mungkin karena peralihan musim yang terjadi saat ini (he-he-he, apa hubungannya ya ?)
So, I'm back...!
******
TEPAT Tanggal 1 Juni 2005, pada suatu pagi yang cerah dan ketika embun masih basah melekat direrumputan di taman rumah kami, aku tertegun melihat pemandangan yang tidak biasa. Jam didinding masih menunjukkan Pkl.04.45 pagi dan ayahku, baru saja mandi untuk bersiap berangkat ke kantor. Aku berdiri mematung, terkesima didepan sebuah sepeda baru yang diparkir didepan rumah (juga warna biru, seperti sepedaku). Modelnya mirip sepeda onthel modern. Lebih ergonomis dibanding sepeda dinas belanja ibu bermerek "Ferrari" yang sudah berusia 6 tahun. Di bagian depan ada keranjang untuk menaruh belanjaan plus tempat boncengan yang representatif. Aku langsung membayangkan dibonceng ibu dan ayah dibelakang sambil berjalan-jalan mengelilingi kompleks perumahan kami.
Ayah memperhatikan keterkejutanku. Beliau lalu menepuk pundakku.
"Baru dibeli semalam lho untuk ganti sepeda dinas yang lama, untuk belanja ibumu ke pasar. Di Pasimal. Sampai ngos-ngosan deh ayah bawa sepeda itu dari sana ke rumah semalam," kata ayah bercerita kemudian menyeruput kopi cappuccino-nya.
Aku tidak menanggapi kisah ayahku dan kemudian mencoba-coba naik diboncengannya. Ayahku nyaris tersedak kopi yang ia minum, menyaksikan aksi dramatis mendadak yang aku lakukan. Dengan cepat, beliau langsung memegangi pinggangku dan membantu naik ke boncengan sepeda.
"Mau jalan-jalan dibonceng dengan sepeda ya ?," tebak ayahku.
Aku mengangguk antusias. Beliau tersenyum.
Tak lama kemudian, aku dan ayah jalan-jalan disekeliling rumah kami dengan memakai sepeda baru. Aku begitu gembira lalu berteriak girang.

"Pegangan yang kuat Rizky. Nanti jatuh," kata ayahku mengingatkan. Aku lalu memegang kuat-kuat pinggang ayahku. Ibu yang sedang menggendong Alya, memandangi kami berdua dengan cemas di depan gerbang rumah.
Namun terjadi sesuatu yang tak terduga. Mungkin karena memikul berat yang sungguh "memilukan" dari pantat serta tubuh bahenol ayahku, mendadak sadel sepedanya melorot turun.
"Eit...eit..ada aa..aapa..nih ?," ujar Ayahku panik sambil tetap konsentrasi mengendarai sepeda. Pantatnya bergeal-geol di sadel mencari keseimbangan. Aku jadi ikut gundah campur geli karena tiba-tiba tubuh ayahku melorot mengikuti sadel sepeda. Ibu yang menyaksikan kami dari jauh tertawa terpingkal-pingkal. Apalagi lihat gaya ayahku yang tinggi montok memutar pedal sepeda dengan tungkai kaki yang nyaris menyentuh perutnya.
"Wah, sadel sepedanya mesti ada "Over-Weight Warning" nih!. Bahaya kalau sadel melorot sampai begini.," kata ayahku kesal setelah membawa sepeda baru itu didekat ibu.
"Makanya diet dong supaya langsing," sahut ibuku yang masih belum lenyap tawanya.
Ayahku hanya mesam-mesem sambil mengelus-ngelus pantatnya yang perih dan dirasakan seperti "di-sodomi" sadel sepeda. Keciaaaaan deh, ayahku.. !