SEUNTAI PERCAKAPAN TENTANG KERAMIK
AYAH baru saja pulang kantor dengan wajah berseri-seri Hari Jum'at, minggu terakhir bulan February 2005. Tangan kanan beliau menenteng sebuah kantong plastik hitam besar. Tercium lekat aroma Martabak Telor Super Spesial dan Martabak keju kegemaran kami sekeluarga dari sana. Aku yang menyambut beliau didepan pintu ruang tamu, langsung digendongnya serta mendaratkan ciuman maut. Ibu yang sedang menyapih Dik Alya di sofa ruang tamu menebak sambil tersenyum :
"Dapat Bonus ni yeee.."
Ayahku cengar-cengir.
"Koq Tahu ?"
"Biasa, pake telepati," sahut ibuku asal-asalan.
"Yaa..begitulah. Sekecil apapun, anugerah itu harus disyukuri," kata ayah seraya menghenyakkan pantatnya disofa. Aku turun dari gendongannya dan mulai membuka tentengan ayah tadi.
"Terus mau diapain tuh bonus ?", tanya ibu sambil meletakkan Dik Alya di box bayinya.
"Renovasi rumah terutama ini..nih..keramik ruang tamu dan kamar yang pecah-pecah," jawab ayahku sambil menunjuk Lantai Keramik rumah kami yang pecah dan naik turun ibarat gelombang tsunami itu. Memang, kondisi keramik lantai rumah kami sungguh sangat memprihatinkan. Kontur tanah yang labil dan mungkin pengerjaan pihak pengembang yang tidak rapi menyebabkan hampir sebagian besar lantai keramik rumah kami retak, pecah dan bergelombang naik turun. Untuk menghindari kecelakaan di kaki, ayah sampai menempelkan lakban untuk menutupi keramik yang pecah. Ini tentu sangat merusak pemandangan.
"Budgetnya cukup nggak ?", tanya ibuku penasaran.
"Ssst..tunggu dulu..kita lanjutkan setelah pesan-pesan berikut", kata ayah sambil ngeloyor ke WC dan dengan gerakan ala balerina ternama beliau membuka pintu kamar mandi kami sambil kemudian melemparkan senyum jenaka.
"Hmm..pasti deh..", ibuku langsung ngambek.
"He-he-he...I wanna be-ol dulu ya.."(Oalaaah...mau buang air besar aja, pake "memperkosa" bahasa segala, coba apa sih artinya "be-ol" dalam bahasa Inggris ?), sahut ayahku dari balik pintu kamar mandi.
"Selalu begitu. Kalau mau diajak ngobrol atau diskusi aja sepulang kantor, pasti langsung ke WC dulu..kenapa sih nggak di kantor aja dulu buang hajatnya ? ," kata ibuku kesal.
"Yeee...Mmmmbbpphhh (ngeden..ceritanya..hehehe..)..kan' baru kerasa disini, masa mau dipaksain harus dikantor ?...Mbbbpphh..plung...aaaahhh..!(ngeden lagi..sambil menjatuhkan sesuatu, you know lah yaww..dan bernafas lega)," jawab ayahku dari balik pintu kamar mandi.
"Sebbbbeeell deh sama Papanya Rizky !," seru ibuku dengan muka tertekuk didepan pintu kamar mandi. Beliau membawa Alya dari Box bayinya ke kamar tidur.
Tidak berapa lama kemudian, ayah keluar dari kamar mandi dengan muka cerah ceria. Biasanya beliau makan malam dulu kemudian mandi. Namun melihat gelagat ibu sedang ngambek berat, sambil melangkah beringsut beliau memasuki kamar.
"Sssst...diam Rizky, Sini ikut kita godain ibumu yuk.." kata ayah kepadaku yang sedang asyik mengunyah martabak telor ditemani Mbak Ida Dora. Aku berlari mendekati ayah, dan ikut berjalan beringsut ala maling ayam bersama ayah menuju kekamar.
Ibu tidur memunggungi kami sambil memeluk Alya.
"Ngambek ni yeee..", kata ayah menggoda sambil berbisik ditelinga ibu. Aku ikut naik ketempat tidur dan berbaring disamping Alya.
"Biarin !", sahut ibu ketus.
"Ojo ngono to' sayangku," rayu ayah ala "campur sari".
"Panggilan alam kayak tadi itu nggak bisa ditolak, sayang. Tapi kalau diskusi tentang perbaikan keramik kan' masih bisa ditunda," kilah ayah.
Ibu diam, pasang aksi Ja-Im (Jaga Image). Ayah tidak menyerah.
"OK. Sekarang kita mulai soal pemilihan tukang. Kayaknya kita pake Mas Parno dan kawan-kawan aja deh..itu tuh tukang yang lagi ngerjain bangunan Pak Andy didekat rumah kita. Kerjaan mereka bagus koq. Lagipula tarifnya murah. Kita order borongan saja. Dan paling penting, mereka tidak perlu tinggal bersama kita. Pokoknya kerjaan selesai mereka kembali ke tempat semula. Besok Mas Parno kita panggil kemari," kata ayah membuka percakapan.
"Hmmm...," ibu bergumam. Masih Jaim.
"Terus apalagi nih. Sekarang soal warna keramik. Yang paling cocok adalah yang bercorak kayu. Warna kecoklatan agak muda dengan motif khusus. Kayak wooden flooring gitu lho. Pasti hasilnya mengagumkan," kata ayah lagi.
"Tidak setuju!", tiba-tiba ibu berseru sambil membalikkan badan dan memandang ayah tajam.
"Yee..Katanya ngambeeek...", goda ayah. Ibu tidak peduli.
"Pokoknya yang paling bagus keramik warna biru. Yang corak wooden flooring itu kan' sudah dipakai sama tetangga sebelah. Punya kita mesti lain dong," sahut ibu sengit.
Ayah angkat bahu.
"Rizky bagaimana ? Setuju ?," tanya ayah kepadaku. Aku kebingungan mau jawab apa.
"Lho, koq tanya Rizky sih ?," ibu balik bertanya.
"Dia juga punya hak untuk memilih. Sekarang begini saja, kita berdua acungkan telunjuk kearahnya, dan minta Rizky pilih salah satu telunjuk. Jika pilih telunjukku berarti kita pake keramik coklat, kalau telunjukmu berarti pakai keramik warna biru. Setuju ?," kata ayah. Ibu mengangguk. Aku masih bingung. Dan makin bingung lagi ketika keduanya mengacungkan telunjuk kearahku. Apa-apaan nih ?.
"Pilih Rizky, telunjuk mana nih ?", tegas ayah memberi instruksi.
Aku pun dengan mantap memilih telunjuk ibu. Ayah mencoba protes.
"Eiits..dilarang protes, salah sendiri ayah ngacungin telunjuk tangan kiri ke Rizky,kan' kita semua tahu barusan habis ngapain..hehehe," ibu terkekeh dan tersenyum penuh kemenangan. Aku ikut tertawa. Alya berteriak sambil menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Ayah garuk-garuk kepala. Mungkin bingung, memangnya tadi habis ngapain ya ?.