MBAH KARSO, NENEK PEMIJAT BERTENAGA "HERCULES"
Namanya Mbah Karso. Asal dari Magelang. Usianya mungkin sudah diatas 80 tahun. Mbah Karso memiliki empat anak, enambelas cucu dan dua cicit. Beliau paling terkenal sebagai tukang urut bayi dan anak-anak disekitar rumah kami --sebuah profesi yang sudah beliau tekuni sekitar 30 tahun silam.
Mbah Karso tinggal bersama anak bungsunya di Jalan Antilop 3. Aku dan ayah biasa datang menjemput beliau usai Sholat Isya dan apa boleh buat, terkadang kami harus mengalah pada orang yang datang lebih dulu menjemput Mbah Karso.
Meski usianya sudah uzur, namun beliau memiliki tenaga dan vitalitas yang prima. Postur tubuh nenek tegap ini memang sungguh meyakinkan. Juga menggentarkan. Terutama buatku dan Alya. Tubuhnya tambun dan gempal serta terkadang mengunyah sirih dan membuatku jadi merinding seperti menyaksikan nenek sihir baru saja mengunyah potongan tubuh korbannya. Hiiii!!
Saat sosok beliau muncul dibalik pintu, adikku Alya berteriak histeris ketakutan dan mungkin membayangkan jari-jari ampuh Mbah Karso menelusuri badan mungil ringkihnya. Aku sendiri, meski takut, memilih untuk diam dan tak berkomentar apapun. Nenek pemijat itu biasanya langsung terkekeh-kekeh geli melihat kami.
Dalam sekali kedatangan, Mbah Karso mengurut aku, Alya, ibu dan ayah. Aku jadi merasa ayah dan ibu benar-benar tidak ber-peri-ke-“nenek”-an. Betapa tidak, mungkin saja Mbah Karso sudah cukup lelah mengurut sejumlah pasien sebelum kami dan tentu beliau sudah cukup letih mengurut kedua tubuh ayah ibuku yang “full pressed body”.
Tapi diluar dugaan, Mbah Karso, dengan ketenangan yang sangat memukau melayani “tantangan” itu dengan santai. Biasanya beliau “menangani” aku dan Alya dulu baru giliran ibu atau ayah. Jika memijat ibu, Mbah Karso terlibat obrolan yang sangat akrab. Si “nenek bertenaga Hercules” tersebut memang tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia. Jadilah percakapan berjalan lancar karena ibuku meladeni pertanyaan-pertanyaan Mbah Karso dengan Bahasa Jawa. Sementara dengan ayah, biasanya ibu menemani mbah Karso mengobrol dan ayah menikmati pijatan Mbah Karso sampai tertidur mendengkur.
SATU, DUA...TIGAAA!!

Minggu lalu, ayah dan ibu sudah mendaftarkan aku di Play Group Rima Alamanda Jl.Tarum Barat yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah kami. Aku memang belum cukup umur untuk masuk TK nanti, untuk itu, daripada kelamaan di TK, ayah memutuskan aku masuk Play Group dulu dan setahun sesudahnya baru masuk TK.
Salah satu persyaratan pendaftaran adalah Pas Photo ukuran 3 x 4 berwarna. Dan untuk itu, pada suatu sore, ayah beserta ibu dan adikku Alya mengantaranku berfoto di salah satu studio foto di Ruko Puspa Kota Jababeka.
Hari itu, aku didandani dengan atraktif, semata dalam rangka memperoleh hasil jepretan foto terbaik. Secara provokatif, ibu membubuhkan taburan bedak di pipiku dan Ayahku sibuk menyemprotkan parfum di baju yang aku kenakan.
“Koq pake parfum sih ? Emangnya kalo fotonya jadi si Rizky bakal wangi juga ?,” protes ibu pada ayah.
“Yaaa,,Nggak sih, tapi kan’ ini untuk mendukung penampilannya sebagai bocah trendy cikarang,” kilah ayahku kikuk.
Setelah menyelesaikan persyaratan administrasi, aku dan ayah menuju ke Ruang berfoto berada di lantai 2. Sementara ibu menunggu kami dilantai satu sambil menyusui adikku Alya.
Sang juru foto merapikan dan menyiapkan alat-alatnya. Ayah kembali sibuk mendandaniku dengan tambahan bedak di pipi
“Jangan malu-maluin ya, bapakmu ganteng begini, masa’ hasil foto anaknya jelek ?.” kata ayah memberiku wejangan singkat sembari menambahkan sejumlah bedak dipipiku.
Juru foto memanggilku dan memintaku berdiri dibelakang sebuah kain berlatar biru. Ayah mendampingiku dan merapikan penampilanku sekali lagi.
“Yaa…siap yaa,” juru foto memberi aba-aba. Aku tegang. Ayah tegang.
“Santai aja Rizky, kepalanya dipalingkan ke kiri sedikit. Tolong dibantu pak. Yaa..dikit lagi, OK cukup,” kata si juru foto menginstruksikan.
“Siap yaaa…Satuuuuu…duaaaa…”
“TIGAAAA!!!”, aku berteriak kencang.
Lampu blitz menyala terang. Sang juru foto menepuk jidatnya sendiri.
“Oooh my god!”,ayah berseru kecewa. Aku terkekeh geli.
“Gimana dong ini pak ? Masa’ hasil fotonya si Rizky nanti dengan mulut terbuka lebar, Kebetulan masih ada dua jatah extra. Jangan disia-siakan. Kalau tidak bapak mesti bayar lagi lho,”tanya sang juru foto putus asa.
“Ulang aja deh. Dan kamu Rizky, jangan kayak gitu lagi yaa. Diam aja sambil senyum,” kata ayahku tegas. Beliau datang memperbaiki posisiku kembali.
“Oke..kita mulai lagi yaa Rizky. Senyuuum… pandang kedepan…yaa..Satu, Dua”.
“TIGAAAAAAA!!!”, kembali aku berteriak kencang dan tertawa riang.
Lampu blitz menyala terang dan si juru foto terlihat geleng-geleng kepala. Ayah mendengus kesal.
“Tinggal satu jatah nih, pak,” kata si juru foto mengingatkan.
“Iya saya tahu. Begini aja deh, untuk yang terakhir ini pake aba-abanya pake tangan aja ya pak. Jangan suara. Dan kamu Rizky, jangan begitu lagi yaa ?,” sahut ayahku dengan raut wajah tegang seraya kembali memperbaiki posisiku. Sang juru foto mengangguk mafhum.
Maka demikianlah dengan aba-aba tangan, pengambilan fotoku berhasil juga dilakukan. Ayah menghela nafas lega. Juga sang fotografer.
“Anak bapak ini pinter banget, walaupun sempat bikin kesal dua kali,” puji sang juru foto. “Mau jadi apa kalo besar nanti nak ?”.
“Jadi Presiden!!,” sahutku cepat. Sebuah jawaban standar yang diajarkan ayahku jika seseorang bertanya kepadaku mau jadi apa kalau sudah besar nanti.
“Iya, sekalian merangkap jadi wasit lomba lari 100 meter kali yee,” sergah ayahku cepat yang kemudian disambut tawa membahana sang juru foto.