The next Indonesian Foto Model
Kepanikan melanda rumah kami hari itu, 13 January 2004. Ayah baru saja kembali dari kantor ketika tiba-tiba ibu menjerit sekuat tenaga: "Rizky Step..Rizky Step!!". Panas badanku memang memuncak hingga 39oC saat itu dan setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Tubuhku mendadak kaku dan kejang. Tetangga-tetangga berdatangan. Ayah langsung membopongku serta mengangsurkan telunjuknya ke mulutku yang hendak terkatup rapat. Gigiku yang mungil segera menghunjam jari ayahku dan terlihat wajah beliau meringis menahan sakit yang tertahan. "Pakai ujung sendok saja buat digigit", kata salah seorang tetangga menyarankan. Tapi ayah tetap tak peduli, jarinya tetap dimasukkan kemulutku untuk menghindari lidahku tergigit, meski dengan resiko menahan sakit bahkan sempat mengeluarkan darah.Untunglah saat itu, ada Om Dion, adik ibu yang bertugas di Brigif Kalisari datang bertamu kerumah. Ayah segera menggendongku dan dengan dibonceng motor Om Dion, aku dibawa ke Poliklinik Kalibata di depan rumah untuk memperoleh pertolongan pertama. Aku sama sekali tidak sadar saat itu, namun sesaat setelah obat anti kejang dimasukkan lewat dubur, aku langsung sadar. . Dokter kemudian menyarankan membawa aku kerumah sakit untuk mendapatkan tindakan perawatan lebih lanjut. Ayah dan Om Dion membawaku ke Rumah Sakit Triadipa Pasar Minggu. Ibu datang menyusul naik ojek tergopoh-gopoh dan langsung memelukku erat-erat. Tangisnya meledak saat itu juga melihat kondisiku yang sangat lemah. Rupanya karena panik, tukang ojek dari Pomad malah membawa ibu ke Mall Kalibata!. Aku tahu betapa kesal ibu saat itu. Aku hanya menatapnya dengan sinar mata redup. Ibu kembali memelukku erat-erat sambil menangis sesunggukan. Aku jadi sesak nafas dibuatnya.Ayah mengurus administrasi di RS.Triadipa, dan sayangnya kamar untuk anak-anak habis!. Terlihat raut muka ayah sangat cemas dan gugup.
"Ayo, kita ke rumah sakit Siaga saja!!", titah ayahku pada Om Dion dan Ibu.
Ibu menggendongku sambil dibonceng dengan motor Om Dion ke Rumah Sakit Siaga-Pasar Minggu, ayah menyusul naik ojek dibelakangnya.Aku diperiksa kembali di ruangan ICU RS.Siaga. Panas tubuhku masih sekitar 38oC, namun untuk mencegah kejang lagi, ibu terus memberiku kompres dikeningku. Akhirnya aku mendapat kamar di lantai 2 khusus untuk anak-anak. Sayang sekali, dokter anak tidak ada saat itu untuk memeriksa keadaanku. Ayah dan ibu terus mendesak perawat untuk menghubungi dokter anak yang saat itu tengah menangani pasien disalah satu rumah sakit. Ayah dan ibu bersikeras tidak mengizinkan tindakan infus kepadaku sebelum diperiksa oleh Dokter. Pkl.02.00 pagi, sang dokter datang, dengan bersungut-sungut dan memeriksa badanku. Ayah dan ibu kelihatannya tidak senang. Namun mereka diam saja. Malam itu juga aku diinfus oleh perawat rumah sakit dan keesokan harinya, sample darahku diambil. Saat diinfus, terlihat ibu menggigit bibir, cemas dan takut melihat tubuhku yang mungil ditusukkan jarum kedalamnya. Betapa tersiksanya aku bergerak dengan adanya selang infus di tangan kananku. Untunglah, aku tidak hanya sendiri dirawat dikamar tersebut. Kebetulan, satu kamar anak-anak yang tersedia, menampung 3 tempat tidur anak. Dan tepat disebelahku ada seorang anak perempuan berusia kurang lebih 6 tahun dirawat karena gejala typhus. Ibu asyik berbincang dengan ibu anak itu sambil membicarakan kami. Malam harinya, ibu tidur disampingku, diatas ranjang yang sempit dan ayah tidur dibawah beralaskan tikar. Benar-benar "Siaga" di Rumah Sakit Siaga!.
Keesokan harinya, berdasarkan analisa dokter, aku menderita sakit infeksi saluran pencernaan. "Syukurlah, bukan demam berdarah", kata ibu lega. Namun kata dokter, aku masih harus diinfus hingga paling lambat 2 hari kemudian kemudian dipantau lagi kondisi darahnya. Tetangga-tetangga di Kompleks POMAD berdatangan menjengukku. Kamis malam, 15 January 2004, Oma Kuni (istri dari alm.Ridwan Gobel, adik dari Opa), Tante Umi dan Tante Laila (sepupu ayah) dari Balikpapan yang kebetulan datang ke Jakarta datang menengokku. Keesokan harinya, Tante Lilis, Tante Nuniek, Tante Nita, Tante Tika dan Tante Sri (teman-teman Ayah di kantor) juga ikut membesukku.
"Cantik-cantik juga ya mereka ?",gumamku dalam hati sembari melirik salah seorang dari mereka dengan ekor mataku. "Kamu nggak boleh genit. Masih kecil. Nanti aja kalau udah gede ya..", kata ayahku sambil mencubit pipiku dengan gemas. Teman-teman ayah tertawa renyah mendengar gurauan tersebut. Sebelum pulang, masing-masing teman ayah memberikan kecupan mesra dipipiku. Lumayaaaann...kalau begini terus bisa cepat sembuh nih !. Hehehe.
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah dan diagnosa dokter, Hari Sabtu,17 January 2004, aku sudah boleh pulang. "Good bye, Rumah Sakit Siaga!"