NO DUIT, YA NO MUDIK!
Ayah baru saja menyelesaikan persyaratan administrasi kredit pengambilan rumah kami di Cikarang. Ayah kemudian duduk di sofa ruang tamu kami lalu meletakkan kakinya diatas meja. Wajahnya terlihat sangat letih. Beberapa saat kemudian beliau terlibat pembicaraan serius dengan ibu. Terlihat wajah ibu sempat menegang, tapi kemudian tampaknya beliau mengikuti keinginan ayah. Tak berapa lama kemudian, air mata menggenang di pelupuk mata ibuku. Ayah terdiam sejenak kemudian menggendongku dari pembaringan lalu mendekati ibu yang duduk tepekur di kursi tamu kami.
"Kita harus berkorban untuk ini, Bu. Apa boleh buat dana kita buat mudik akan dipakai untuk renovasi rumah di Cikarang", kata ayah berusaha menenangkan ibu.
"Tapi aku kan' sudah 2 tahun nggak pulang ke Yogya!", seru ibu lantang.
"Yaa..kamu baru 2 tahun, aku sudah 4 tahun nggak pulang ke Makassar", sahut ayah dengan raut muka tegang. Aku menggeliat gelisah. Kalau sudah begini, biasanya tensi emosi akan memuncak.
"Pokoknya ini keputusanku!. Kita renovasi rumah dulu. Pulang mudik nanti kan' bisa kapan-kapan. Kontrak rumah kita habis awal tahun depan. Aku nggak mau kita menempati rumah baru dengan kondisi yang ada sekarang. Jadi sebelum pindah kesana, semua sudah harus selesai direnovasi. Nanti malam kita ngomong ke Bapak dan Simbok di Yogya sekalian kita bicarakan rencana kita ini pada Ayah dan Ibuku di Makassar.
Saya kira mereka semua bisa menerima kondisi ini. Sudah, nggak usah menangis, lihat tuh Rizky sampai ikut-ikutan stress gara-gara kamu ngambek begitu!, tegas ayahku. Kalau sudah begini, apalagi mendengar suara ayahku yang lantang dan keras itu, aku tak bisa berbuat macam-macam. Kecuali diam. Dan diam.
Ibu tidak menanggapi kalimat ayah. Beliau kemudian berlari masuk ke kamar dan menangis disana. Ayah lalu menciumku lalu berdesis pelan, "Pokoknya, No Duit..ya no mudik!". Beliau lalu meletakkanku di pembaringan didepan TV, lalu menyusul ibuku ke kamar. Biasalah, apalagi kalau bukan merayu ibu yang lagi ngambek.